Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Pemerintah Tak Berdaya Thu Mar 27, 2008 2:02 pm | |
| SUARA PEMBARUAN DAILY Pemerintah Tak Berdaya Kekakuan Institusional Hambat Respons terhadap Krisis Global[JAKARTA] Banyaknya kritik mengenai ketidaksiapan Indonesia mengantisipasi dampak ancaman krisis ekonomi global, antara lain disebabkan adanya kekakuan institusional serta sistem ketatanegaraan yang tidak memungkinkan pemerintah bereaksi cepat terhadap perkembangan lingkungan ekonomi global.
Di sisi lain, diakui pula bahwa tidak ada satu negara pun di du- nia yang siap menghadapi krisis ekonomi.
"Secara keseluruhan, sistem yang ada di negara kita kurang cepat bergerak. Hal itu tampak, terutama dalam menghadapi situasi global yang cepat berubah," tutur ekonom dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Pande Radja Silalahi, di Jakarta, Kamis (27/3).
Menurutnya, kurang cepatnya Indonesia mengantisipasi, antara lain tampak ketika akan mengubah APBN, yang diperlukan sistem pelaporan kepada legislatif. Di Amerika Serikat, misalnya, hal itu bisa dilakukan lebih cepat.
Penyelesaian yang harus dilakukan, bukan hanya dari sisi eksekutif, tapi juga legislatif. "Ada masalah dan kekakuan dalam institusional, sementara kita harus bergerak lebih cepat," jelasnya.
Langkah Terpaksa
Sementara itu, pemerintah menanggapi dingin kritik mengenai kurang sigapnya dalam mengantisipasi dampak buruk dari ancaman krisis ekonomi global, serta pilihan kebijakan yang diambil. Menurut Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Achmad Rochjadi, saat ini pemerintah benar-benar tidak memiliki banyak pilihan, terutama untuk menyelamatkan APBN 2008 dari terus membengkaknya subsidi.
Rencana memotong anggaran pembangunan infrastruktur di APBN, misalnya, adalah langkah terakhir yang bisa dilakukan pemerintah. "Pemotongan ini sebetulnya terpaksa, tidak ada uang, karena kita harus alihkan untuk subsidi," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (26/3) malam.
Dia menegaskan, minimnya alokasi anggaran untuk infrastruktur dan rencana pemotongan pos tersebut sebesar 10 persen, merupakan langkah terbaik di antara yang terburuk yang bisa dilakukan pemerintah.
Sebelumnya, dalam kuliah terbukanya di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Rabu, ekonom dari John Hopkins University, AS, Steve Hanke mengkritik kecilnya anggaran infrastruktur dalam APBN 2008. "Sewaktu Soeharto memerintah, anggaran infrastruktur mencapai 45 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Namun sekarang hanya 3 persen dari PDB. Ini sangat kecil, karena infrastruktur itu penting. Termasuk investasi pendidikan dan sumber daya manusia," kata mantan penasihat ekonomi Presiden Soeharto itu (SP, 26/3).
Hanke juga mengkritik pemerintah yang lebih banyak menghabiskan anggaran untuk membayar subsidi. Padahal, masih ada anggaran lain yang jauh lebih penting, terutama pendidikan.
Untuk dana pendidikan sendiri, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, meminta agar menjadi prioritas tersendiri. Dia berharap agar dana pendidikan tetap sebesar Rp 6,5 triliun, dan tidak terkena imbas rencana pemotongan anggaran kementerian dan lembaga negara sebesar 10 persen.
Suku Bunga
Selain itu, Hanke juga sempat menyarankan agar Bank Indonesia (BI) tidak berencana menurunkan suku bunga. Hal itu agar BI bisa memanfaatkan dana asing yang masuk ke Indonesia untuk menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pandangan serupa juga dilontarkan mantan Gubernur BI Adrianus Mooy, pada kesempatan sebelumnya. Menurutnya, BI Rate sebaiknya tetap dipertahankan pada level 8 persen selama beberapa bulan ke depan. Demikian pula Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di 8 persen.
BI harus bisa memanfaatkan selisih suku bunga yang cukup besar dengan Bank Sentral AS. "BI sebaiknya serius dengan target inflasi. Stop memikirkan penurunan suku bunga," katanya.
Sebaliknya, Panitia Kerja (Panja) DPR yang membahas asumsi dasar, pendapatan, defisit dan pembiayaan, justru menginginkan penurunan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan, dari 8 persen menjadi 7,5 persen. "Suku Bunga SBI 3 bulan pada 2008 diperkirakan akan tetap pada kisaran 7,5 persen, karena ekspektasi penurunan Federal Reserve Rate (suku bunga Bank Sentral AS) dan terkendalinya inflasi," tutur Koordinator Panja, Harry Azhar Azis, Rabu malam.
Rekomendasi tersebut, menurut Deputi Senior BI, Miranda Swaray Goeltom, sedikit berbeda dengan asumsi makro yang dipakai oleh BI. "Kalau inflasi 6,5 persen, agak sulit memperkirakan SBI 3 bulan sebesar 7,5 persen. Konsistensi memang harus tetap dijaga. Kalau dalam BI, kami pakai hitung-hitungan kami sendiri. Kami pakai 8 persen untuk SBI, inflasi 6,5 persen," tuturnya.
Asumsi tersebut, lanjut Miranda, merupakan langkah BI agar konsisten dengan upaya menjaga agar nilai tukar bisa tercapai sepanjang tahun, yakni rata-rata Rp 9.100 per dolar AS. "Sampai 25 Maret 2008, nilai tukar rata-rata masih Rp 9.267 per dolar AS. Jadi untuk mencapai Rp 9.100 per dolar AS sepanjang tahun, cukup banyak usaha yang harus dilakukan," kata Miranda. [DMP/D-10] | |
|