Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Ilmu yang Tak Berdaya? Sat Sep 06, 2008 11:25 pm | |
| Ilmu yang Tak Berdaya? Mikhael Dua SUARA PEMBARUAN DAILY Jika ilmu pengetahuan menjadi sumber masalah, maka orang mulai mencari kebijaksanaan. Temuan-temuan ilmu di bidang medis selalu menarik perhatian, karena memberikan janji bagi penyembuhan banyak penyakit. Namun, pada saat yang sama percobaan dan penelitian di bidang ini dicurigai.
Pertanyaan di bidang stem cells, misalnya, hingga kini belum terjawab dengan baik. Dalam situasi seperti itu orang meminta agar ilmuwan lebih arif mengembangkan temuan-temuannya dalam dialog dengan kebudayaan dan agama.
Sementara itu, tekanan terhadap ilmu dapat datang dari pemerintah dan masyarakat. Baru-baru ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluh tentang kinerja lembaga penelitian di Indonesia, yang tidak memberikan banyak sumbangan bagi kesejahteraan masyarakat. Ilmu pengetahuan harus memiliki manfaat, jika tidak untuk hidup sebagai keseluruhan, minimal dapat mendongkrak pendapatan masyarakat. Universitas kita pun dikritik dari perspektif yang sama.
Masyarakat pun sepaham dengan pepatah Latin, Non scholae, sed vitae discimus! Pengembangan ilmu pengetahuan tidak untuk sekolah itu sendiri, tetapi untuk hidup yang lebih sejahtera. Harapan tersebut tidaklah salah. Ilmu memiliki dampak yang luas dan mendalam bagi hidup manusia. Ia tidak hanya memudahkan kita bekerja, tetapi juga secara mendasar mengubah cara pandang kita tentang hidup, tentang diri kita sendiri, tentang politik dan ekonomi, dan tentang alam di mana kita menginjakkan kaki kita. Perubahan-perubahan mendasar pun tidak dapat dilepas dari temuan-temuan ilmiah.
Tetapi, pertanyaannya, mengapa penelitian kita tidak membantu perkembangan masyarakat? Apakah penelitian kita masih terlalu elitis, yang hanya dinikmati oleh kalangan perguruan tinggi, tanpa sumbangan apa pun bagi kemajuan masyarakat kita? Lalu, bagaimana jika ia berkembang melampaui harapan masyarakat?
Ilmu dan Ideologi
Tidak jarang dikatakan bahwa perkembangan ilmu ditentukan ideologi dan kepentingan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II, ideologi Nazi yang anti-Yahudi dan homoseksualitas mendominasi proyek-proyek penelitian baik untuk kepentingan perang maupun untuk kepentingan ideologis. Teori relativitas Einstein ditolak, karena dianggap sebagai fisika Yahudi. Ceritera-ceritera naas berkenaan dengan percobaan-percobaan atas manusia terjadi karena Jerman memiliki kepentingan untuk memenangkan perang.
Setelah Perang Dunia II, logika ideologi dan kepentingan tetap mendasari perkembangan ilmu pengetahuan. Stalin memiliki program sentralisasi penelitian di bawah politbiro untuk mendeteksi apakah penelitian ilmiah berjalan berdasarkan rencana pembangunan lima tahun dalam perspektif materialisme historis. Meskipun dunia barat lebih liberal, karena dukungannya terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia, kita masih menemukan program star war pemerintahan Ronald Reagan yang mendorong penelitian dengan motif pertahanan dan ketahanan negara.
Kepentingan ideologi perang barang kali sudah berakhir dan kepentingan lain segera menggantikannya. Setelah Perang Dunia II, perkembangan penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan mengarahkan diri pada kesejahteraan masyarakat. Banyak negara memberikan perhatian pada penelitian dalam banyak bidang ilmu pengetahuan alam, teknologi, ekonomi, ilmu pengetahuan sosial, dan budaya untuk maksud itu.
Prinsip kebebasan penelitian dan pengajaran ditegakkan. Di Jerman prinsip tersebut ditempatkan dalam katalog hak-hak dasar. Dengan alasan yang sama Paus Yohanes Paulus II telah merehabilitasi Galileo, karena ilmu pengetahuan menjadi dasar bagi pengembangan kebudayaan ma- nusia.
Namun, di balik optimisme dunia tentang manfaat ilmu pengetahuan bagi masyarakat, kecurigaan Wapres Jusuf Kalla atas hasil-hasil penelitian ilmu pengetahuan pantas dicermati. Ilmu pengetahuan seakan-akan kehilangan kepercayaan diri untuk memberikan sumbangan bagi kebudayaan manusia.
Momok pesimisme tersebut berasal dari ideologi uang. Ideologi inilah yang memilah-milah ilmu pengetahuan atas ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan ilmu pengetahuan yang tidak bermanfaat. Orientasi ekonomi inilah yang menekankan apa yang boleh diteliti, tidak terutama untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat luas, tetapi untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
Etos Keilmuan
Dalam suasana pesimisme terhadap ilmu pengetahuan dewasa ini, Michael Polanyi, seorang ilmuwan berkebangsaan Hungaria, pernah berkata, bahwa keunggulan ilmu pengetahuan tidak terletak pada usaha mengikuti kehendak di luar ilmu. Perkembangan ilmu memiliki logikanya sen-diri. Ia berangkat dari etos ilmuwan yang berminat pada masalah, pada usaha membangun metodologinya, dan tanggung jawabnya, ketika hasil temuannya dimanfaatkan masyarakat luas. Sang ilmuwan tersebut menasihati, agar ilmuwan kembali kepada gagasan kebebasan penelitian ilmiah.
Bagi saya, pemikiran yang masih dikategorikan sebagai sangat klasik ini perlu mendapat penegasan tertentu. Dapat dikatakan bahwa dari segi sejarah ilmu pengetahuan, perkembangan penelitian dipacu karena prinsip kebebasan ilmiah. Dengan prinsip ini seorang ilmuwan secara intensif berusaha memecahkan sebuah tema dan masalah. Tidak peduli apakah penelitian tersebut oleh ilmuwan lain bermakna dan dapat dimanfaatkan atau tidak.
Alasan-alasan bagi perkembangan ilmu tidak semata-mata individual. Etos keilmuan senantiasa berhadapan dengan tantangan-tantangan yang riil yang dihadapi sebuah bangsa. Secara khusus bagi negara-negara sedang berkembang penelitian perlu diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Dunia kedokteran, misalnya, perlu memberikan perhatian pada masalah-masalah penyakit tropis. Begitu juga dengan masalah-masalah sosial lainnya, mulai dari masalah busung la- par, pendidikan, hingga korupsi politik.
Oleh karena itu, etos keilmuan tidaklah individual. Kepentingan masyarakat luas sering menjadi fokus dari banyak penelitian yang digerakkan oleh pusat-pusat penelitian. Namun, seperti disadari banyak pusat penelitian di Indonesia, kepentingan pasar sering mendemotivasi penelitian-penelitian yang berharga. Etos keilmuan kita pun menjadi tak bertenaga. Berkaitan dengan proses demotivasi etos keilmuan ini, sebuah peringatan dari Ivan Illich barangkali berguna bagi kita.
Mengkritik perkembangan masyarakat modern dewasa ini ia merumuskan sebuah paradoks yang terkenal: "Semakin cepat alat-alat transportasi yang kita miliki, semakin kita tidak memiliki waktu untuk satu sama lain; semakin baik pendidikan yang kita kembangkan, semakin kita menjadi bodoh; dan semakin banyak penelitian yang kita kembangkan, semakin banyak hal yang tidak kita ketahui."
Dalam suasana pesimisme terhadap kinerja penelitian di Indonesia, saya kira sebuah tanggung jawab yang lebih besar akan dipikul oleh para peneliti. Tanggung jawab tersebut tidak memiliki ukurannya pada harapan masyarakat.
Secara klasik kerap dikatakan bahwa fokus penelitian ilmiah adalah kebenaran. Dalam etos inilah seorang ilmuwan membuat penelitian dan mengkomunikasikan kebenaran bersama komunitas ilmiah. Di sinilah seseorang mendapatkan pengetahuan tentang perkembangan penelitian rekan sejawatnya. Plagiatisme merupakan pukulan terberat bagi kultur ke- ilmuan.
Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Etika, Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Teknik Atma Jaya, Jakarta | |
|