www. alumnifatek.forumotion.com
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www. alumnifatek.forumotion.com


 
IndeksIndeks  PortailPortail  PencarianPencarian  Latest imagesLatest images  PendaftaranPendaftaran  Login  KawanuaKawanua  Media Fatek OnlineMedia Fatek Online  KAMPUSKAMPUS  

 

 Menjadi Perempuan yang Sejahtera

Go down 
PengirimMessage
Admin
Admin
Admin


Jumlah posting : 549
Registration date : 08.01.08

Menjadi Perempuan yang Sejahtera Empty
PostSubyek: Menjadi Perempuan yang Sejahtera   Menjadi Perempuan yang Sejahtera Icon_minitimeThu Apr 24, 2008 2:46 pm

Memperingati Hari Kartini,21April 2008 kami muat Topic ini:
Menjadi Perempuan yang Sejahtera

Menjadi Perempuan yang Sejahtera 24ladydi

Menjadi Perempuan yang Sejahtera 24ibumod


SUARA PEMBARUAN DAILY

abimanyu

Sosok model kerap dijadikan sebagai tampilan fisik sempurna dari seorang wanita.

Oleh: Lianawati

One is not born, but rather becomes a woman.

Membaca hasil-hasil penelitian psikologi terkini dalam momentum perayaan Hari Kartini seperti saat ini, hati saya menjadi miris. Bagaimana tidak, setelah satu abad lebih perjuangan Kartini, masih saja tercatat kondisi perempuan yang kurang menyenangkan. Lebih buruk lagi, kondisi negatif ini terletak pada psike (jiwa), bagian diri manusia yang paling menentukan keberfungsiannya.

Jurnal-jurnal psikologi mencatat jumlah perempuan yang mengalami gangguan psikologis lebih banyak dibandingkan laki-laki dan jenis gangguannya pun lebih beragam. Rasio tertinggi ditemukan pada gangguan anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Dalam kedua gangguan yang terkait dengan masalah diet dan bobot tubuh itu, 90 persen terjadi pada perempuan. Disusul kemudian oleh fakta dua pertiga penderita gangguan cemas adalah perempuan. Setelah itu adalah gangguan depresi, di mana rasio perempuan dan laki-laki yang mengalaminya adalah dua berbanding satu. Belum lagi gangguan kepribadian histrionik dan dependen yang sampai disebut gangguan khas perempuan.

Jika penyakit-penyakit di atas sudah tergolong sebagai gangguan, dalam skala yang lebih ringan pun tercatat gambaran suram kondisi psikis perempuan. Sebut saja hasil penelitian yang menunjukkan harga diri (self-esteem) perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini khususnya bila perempuan ditanyakan perihal penampilan fisiknya. Bahkan secara umum disimpulkan kesejahteraan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kesejahteraan psikologis perempuan yang sudah lebih rendah ini semakin menurun setelah menikah dan melahirkan.

Gambaran Negatif

Sungguh sebuah gambaran negatif tentang perempuan. Seolah perempuan identik dengan masalah mental. Sejak awal abad ke-19, Sigmund Freud, pelopor psikoanalisis yang teorinya dijadikan pijakan dalam psikologi, sering melabel perempuan sebagai pribadi yang sakit dan sulit disembuhkan dengan terapi sekalipun. Sekian lama dunia psikologi menerima pandangan Freud. Bahkan pengikutnya, Helene Deutsch menambahkan, perempuan adalah pribadi masokis yang senang dengan penderitaan dan bahkan berusaha mencari penderitaan. Dengan pandangan seperti ini, upaya untuk membuat kehidupan perempuan menjadi lebih baik seca- ra psikologis pun tidak pernah terpikirkan.

Untunglah alih-alih menyalahkan perempuan, sejumlah psikolog mulai berpandangan lebih positif untuk melihat bukan perempuan yang seharusnya disalahkan. Beberapa di antaranya adalah Alfred Alder, Karen Horney dan Clara Thompson yang mengupas lebih jauh mengapa perempuan kurang sejahtera dibandingkan laki-laki. Mereka melihat budayalah yang seharusnya disalahkan. Menurut mereka, dengan memahami bagaimana budaya telah mendidik perempuan, kita dapat memahami mengapa perempuan menderita berbagai gangguan di atas.

Pandangan ketiga tokoh itu senada dengan feminis Prancis, Simone de Beauvoir. Kalimat "One is not born, but rather becomes a woman" merupakan kalimatnya dalam bukunya yang terkenal, The Second Sex. Dengan kalimatnya yang sering dikutip orang ini, Beauvoir ingin menjelaskan, bukan takdir biologis ataupun psikologis yang menentukan perempuan tampil seperti sekarang ini, melainkan konstruksi budaya tempat perempuan itu berada.

Salah satu pengaruh budaya yang utama terhadap perempuan adalah mengenai penampilan fisik. Sejak kecil, perempuan mendapatkan penguatan (reinforcement) untuk tampilannya yang menarik. Kalimat-kalimat seperti, "Kamu cantik sekali dengan gaun itu," atau "Duh siapa yang kepangin tuh rambutmu jadi manis begitu?" merupakan kalimat yang sering dilontarkan kepada anak putri. Media juga turut mengkonstruksi kecantikan perempuan melalui iklan produk kecantikan dengan model-model cantik dan bertubuh indah. Padahal, menurut psikolog feminis Rhoda Unger, menampilkan model iklan seperti itu sangat tidak representatif karena faktanya hanya 4.56% perempuan yang kecantikannya jauh di atas rata-rata.

Aspek Tubuh


Sayangnya, bentukan-bentukan itu telah memengaruhi perempuan untuk menjadikan tubuh sebagai aspek penting dalam membangun harga diri. Akhirnya harga dirinya cenderung rendah ketika merasa diri kurang menarik. Ada pula yang menjadikan tubuh sebagai alat pemikat pria, dan hidupnya diabdikan untuk mencari perhatian pria lewat penampilan fisiknya, yang menjadi salah satu ciri gangguan kepribadian histrionik. Aspek kebertubuhan juga dapat menjadi salah satu faktor pembangkit kecemasan pada perempuan. Perempuan cenderung khawatir pasangannya akan melirik perempuan lain yang lebih menarik, terutama seiring bertambahnya usia ketika daya tarik fisik semakin berkurang. Tidak heran jika kecemasan perempuan ditemukan meningkat saat menopause.

Perempuan yang berfokus pada tubuh cenderung melakukan berbagai cara untuk memperindah tubuhnya. Entah dengan membeli produk yang diiklankan, berdiet ketat, ataupun menjadi klien tetap klinik kecantikan. Dalam bentuk yang parah, mereka terus berusaha menurunkan berat badan sementara tubuh sudah sedemikian kurus. Kondisi inilah yang disebut dengan anorexia nervosa. Sebagian lagi merasa bersalah sehabis makan sehingga memuntahkannya kembali dengan berbagai cara, sebuah kondisi yang dinamakan dengan bulimia nervosa.

Budaya tidak hanya mengkonstruksi perempuan dalam hal penampilan. Tuntutan terhadap perempuan juga hadir dalam bentuk stereotipe-stereotipe seperti perawan tua ataupun janda. Banyak perempuan menikah hanya karena tuntutan lingkungan. Banyak korban kekerasan dalam rumah tangga yang tetap bertahan karena tidak siap dengan pandangan negatif terhadap janda. Selain itu, kepada perempuan juga dilekatkan berbagai peran. Perempuan bekerja sekalipun tetap bertanggung jawab atas tugas-tugas domestik dan keharmonisan keluarga. Ketika rumah tangganya tidak harmonis, ia dipersalahkan karena terlalu sibuk dengan karirnya. Banyak perempuan terpaksa meninggalkan pekerjaan, atau tidak mengambil kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena terikat dengan peran sebagai istri dan ibu.

Perempuan juga hampir tidak pernah dididik untuk mandiri. Dalam karyanya Sources of Indian Tradition, WM Theodore De Bary mengkritik perlakuan masyarakat India khususnya dan budaya patriarkis pada umumnya terhadap perempuan, "Sang ayah melindunginya pada masa kanak-kanak, sang suami melindunginya pada masa masih muda, dan putranya melindunginya pada masa tua-seorang perempuan tidak berhak hidup mandiri." Dengan bentukan semacam ini tidak heran jika perempuan rentan menderita gangguan kepribadian dependen, yaitu kondisi kepribadian yang tidak mampu mengambil keputusan karena pilihan hidupnya senantiasa ditentukan orang lain.

Carol D Ryff, penggagas teori kesejahteraan psikologis, menjelaskan, tiap orang dapat menjadi sejahtera dengan menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Sayangnya, konstruksi budaya kita membuat perempuan rentan dengan masalah psikis. Mungkin mudah terpikirkan oleh kita bahwa jika budaya yang membentuk, berarti bentukan budaya itu yang harus diubah. Dalam praktiknya, hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Lantas apakah tertutup kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi sejahtera?

Ryff yang juga seorang perempuan tampaknya sudah mempertimbangkan masalah tekanan budaya sebelum dia membangun konsepnya mengenai kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan, menurut dia, bukan ditentukan oleh seberapa menyenangkan peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang. Peristiwa negatif yang dialami seseorang tidak serta merta membuatnya tidak sejahtera.

Dia menawarkan istilah reinterpretasi, yakni bahwa manusia dapat melakukan interpretasi ulang (re-interpretasi) ter- hadap kondisi dan pengalaman hidupnya.

Jadi dalam tekanan budaya yang melingkupi hidup perempuan saat ini, tetap terbuka peluang bagi perempuan untuk menjadi sejahtera. Beauvoir juga meyakini perempuan dapat dan bahkan perlu menunjukkan eksistensinya meskipun dalam budaya yang menekan. Untuk dapat melakukannya, perempuan dapat menentukan caranya masing-masing.

Proses Menjadi

Menurut Margaret A Simons setelah menganalisis buku harian dan surat-surat Beauvoir, melalui kalimatnya di atas Beauvoir ingin menyatakan bahwa perempuan selalu dalam proses menjadi. Dalam proses ini pengalaman perempuan akan sangat subjektif karena melibatkan pilihan-pilihan personal. Hal ini senada dengan ide Ryff bahwa perempuan yang sejahtera berarti memiliki otonomi dalam menentukan pilihannya sendiri.

Perempuan berhak memutuskan cara terbaik untuk dapat menjadi sejahtera tanpa mengikatkan diri pada tuntutan masyarakat. Meminjam istilah Ryff, perempuan dapat menginterpretasikan kembali tuntutan-tuntutan masyarakat. Tidak ada yang salah dengan menjadi cantik asalkan tidak terobsesi dan menjadi objek dari kecantikan itu. Karena perempuan dapat mendefinisikan diri lebih luas dari sekadar masalah penampilan fisik untuk dapat menerima aspek-aspek lain dalam dirinya. Konsep diri perempuan tidak melulu berisikan aspek tubuh, banyak hal lain yang dapat dibanggakan dari seorang perempuan. Hal lain ini perlu ditemukan oleh perempuan dengan mengenali dan menonjolkan kelebihan-kelebihannya ketimbang berkutat pada kekurangan fisiknya.

Dengan interpretasi ulang terhadap konstruksi masyarakat, maka tidak ada yang salah pula dengan perempuan yang memilih untuk melajang. Sama halnya tidak salah jika perempuan memilih untuk menikah, atau bahkan meninggalkan karirnya untuk kembali kepada peran istri dan ibu. Namun, perlu diingat pilihan yang dimaksud Beauvoir adalah sebuah pilihan yang bertanggung jawab. Tanggung jawab ini diartikan Ryff dengan melakukan tindakan bermakna agar perempuan terus bertumbuh tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga bagi orang lain dalam bentuk kehidupan apapun yang dipilihnya.

Dalam kondisi perempuan tidak dapat memilih sekalipun, konsep kesejahteraan Ryff tetap membuka peluang bagi perempuan untuk dapat menjadi sejahtera. Sebagai contoh, seorang ibu yang terpaksa berkutat dengan masalah pengasuhan anak di rumah tidak serta merta harus menjadi depresi. Dalam novelnya La Grande Borne, NH Dini menunjukkan produktivitasnya untuk menulis buku meskipun tertekan dengan kondisinya saat itu sebagai ibu rumah tangga. Demikian pula dengan Kartini yang sempat merasa tidak bahagia hidup dalam pingitan dan pernikahan hasil perjodohan, dia mengatasinya dengan berkorespondensi. Dia tuangkan gagasan-gagasannya dalam surat, sebuah tindakan sederhana yang mampu menobatkannya tidak hanya sebagai pahlawan tetapi juga feminis Indonesia. Karen Horney pun pernah mengalami depresi akibat sikap suaminya yang otoriter, namun dia berhasil keluar dari depresinya dan menjadi seorang psikolog yang produktif.

Ryff tidak melihat perempuan sebagai pribadi masokis seperti yang dikatakan Deutsch. Perempuan dalam pandangan Ryff tidak mencari penderitaan dan selanjutnya pasif menikmati penderitaan itu. Dengan konsepnya mengenai reinterpretasi, Ryff justru melihat perempuan sebagai pribadi sejahtera yang mampu mengendalikan lingkungannya. Perempuan seperti ini mampu melakukan sesuatu yang bermakna dalam tekanan sekalipun.

Armijn Pane mengumpamakan Kartini sebagai teratai yang hendak beralih namun tertahan oleh tangkainya karena ia melihat Kartini tidak mampu keluar dari kekangan tradisi. Namun, Kartini dalam pandangan saya, tidak demikian, karena dia tetap mampu melakukan tindakan positif dalam kondisi yang dirasakannya menekan. Kartini bagi saya tetap seindah teratai, bunga yang merekah di atas air berlumpur, seperti lukisan yang pernah dibuatnya. Demikian pula dengan perempuan-perempuan lainnya, yang terus berproses menjadi perempuan yang sejahtera di tengah tekanan budaya saat ini.

Penulis adalah dosen Fakultas Psikologi Ukrida
Kembali Ke Atas Go down
https://alumnifatek.indonesianforum.net
 
Menjadi Perempuan yang Sejahtera
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Sigit Agus Himawan, Insinyur Kelautan yang Menjadi Bos Sampah
» BUKTIKAN DENGAN MENJADI ENTREPRENEUR!
» Kalalo Segera Dilantik Menjadi Dekan F-Hukum
» Obama Siap Rebut Dukungan Perempuan
» Ilmu yang Tak Berdaya?

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
www. alumnifatek.forumotion.com :: Halaman Utama :: Tampilan Pada Portal-
Navigasi: