Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Akses Orang Miskin Makin Sulit Mon Dec 22, 2008 2:49 pm | |
| Penolakan UU BHP
Akses Orang Miskin Makin SulitFasli Jalal Suara Pembaruan,Senin 22Des2008 [JAKARTA] Meski Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP sudah disetujui DPR menjadi Undang-Undang (UU) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa dan Sumatera tetap menolak regulasi tersebut.
Mereka mengkhawatirkan, ketentuan mengenai kewajiban badan hukum pendidikan (BHP) penyelenggara pendidikan untuk menerima peserta didik dari keluarga miskin, paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik, justru akan membatasi akses orang miskin menikmati pendidikan.
Pengurus BEM dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Irawan, menyebut Pasal 46 Ayat (1) mengenai kewajiban PTN merekrut 20 persen mahasiswanya dari kalangan tidak mampu sebagai iktikad yang ragu-ragu.
"Kenapa hanya 20 persen. Bagaimana sisanya yang 80 persen lagi, padahal jumlah mahasiswa miskin, justru lebih besar dari yang mampu. Masyarakat akan semakin sulit masuk perguruan tinggi," ujar Irawan ketika bersama pengurus BEM sejumlah PTN lainnya bertemu dengan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal, di Jakarta, Jumat (19/12).
Perwakilan BEM itu antara lain, BEM Universitas Negeri Padang, Universitas Pendidikan Indonesia, (UPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Pasal 46 UU BHP yang dikhawatirkan Irawan itu berbunyi, Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.
Senada dengan rekannya dari UPI Bandung, Habri dari Universitas Jenderal Sudirman, (Unsoed), Purwokerto menilai, ada banyak pasal yang harus ditinjau kembali. Kalau dengan UU BHP baru, banyak perguruan tinggi yang akan mempersempit daya tampung menerima mahasiswanya.
"Masalah tata kelola dalam UU BHP, juga tidak secara jelas menyebutkan bahwa mahasiswa bisa ikut terlibat dalam pengambilan keputusan di perguruan tinggi," tutur Habri.
Juru bicara BEM, Mahasiswa Fakultas Komunikasi (Fikom) Unpad, Gena Bijaksana mengatakan, masih banyak ketidakjelasan yang belum mendapatkan jawaban.
Menurut Gena, pasal yang membuat mahasiswa resah adalah pasal mengenai kepailitan yang menyebutkan adanya pembubaran perguruan tinggi. Pasal itu dinilai bisa menyengsarakan masyarakat. "Masalah kepailitan ini sudah masuk dalam pasal UU BHP, dan kemungkinan adanya perguruan tinggi yang bubar sangat besar. Jadi, kami menuntut pembatalan Undang-Undang BHP ini," kata Gena.
Belum Sepenuhnya
Menanggapi penolakan dan kekhawatiran mahasiswa tersebut, Dirjen Dikti, Fasli Jalal mengatakan, UU BHP memang belum sepenuhnya mengatasi permasalahan pendidikan. Tetapi, katanya, UU ini sudah menjawab beberapa masalah penting di satuan pendidikan tinggi (PT).
Dikatakan, beberapa masalah pendidikan yang diatur cukup tegas dalam undang-undang ini, antara lain otonomi satuan pendidikan, manajemen pendidikan, penerimaan mahasiswa baru, dan pembiayaan pendidikan. Dengan UU BHP, katanya, PT menjadi badan hukum yang mengelola pendidikannya secara otonom.
PT juga dibolehkan mengatur sistem pendidikan yang diinginkan. Namun, katanya, meski otonom, PT tidak bisa seenaknya menerima mahasiswa. "Ada aturan yang tertulis dalam UU BHP yang mengatur PT hanya dapat menerima mahasiswa sesuai kapasitasnya," katanya.
Disebutkan, PT juga diwajibkan mengalokasikan 20 persen dari kuota bangku kuliah untuk siswa yang tidak mampu dan pintar. Selain itu, PT harus juga menanggung biaya pendidikan 20 persen siswa miskin itu dengan beasiswa. "Sanksi menunggu BHP yang tidak taat aturan, bahkan bisa sampai pencabutan izin operasi BHP atau pengalihan aset ke pemerintah," katanya.
Dia menegaskan, pemerintah juga memiliki tanggung jawab yang tidak sedikit. Paling sedikit pemerintah bersama BHP menanggung 50 persen biaya operasional dan 100 persen biaya investasi pendidikan tinggi. "Jadi tidak benar kalau dibilang pemerintah melepaskan tanggung jawab pendanaan pendidikan," katanya. [W-12] | |
|