Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas rancangan undang-undang ( RUU) badan hukum pendidikan (BHP) dan sudah masuk dalam tahap perumusan, dan sinkronisasi. Artinya, tinggal setahap lagi, RUU itu bisa disetujui menjadi undang-undang dan disebut sebagai bagian dari reformasi pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hanya saja, regulasi tersebut tetap dikhawatirkan banyak kalangan yang peduli dengan dunia pendidikan nasional, karena dianggap akan menjadi legalisasi liberalisasi pendidikan. Tanggung jawab negara membiayai pendidikan akan makin lepas, sehingga akses orang miskin akan pendidikan makin kecil. Wartawan SP, Willy Masaharu dan Marselius Rombe Baan menyoroti masalah tersebut dalam tulisan berikut.
SP/Charles Ulag - Bambang Sudibyo
Undang-Undang (UU) 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengamanatkan bahwa perguruan tinggi (PT) harus otonom. Itu berarti, PT harus mampu mengelola lembaga dan dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan, sekolah/madrasah harus dikelola dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan.
Otonomi sangat dibutuhkan oleh sekolah atau madrasah, terutama oleh PT agar tumbuh dan berkembang kreativitas, inovatif, bermutu, fleksibilitas, dan bermobilitas yang merupakan prasyarat agar ilmu, teknologi, dan seni dapat berkembang secara paripurna.
Pada gilirannya, perkembangan ilmu, teknologi, dan seni tersebut akan memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.
Untuk mewujudkan otonomi tersebut, maka UU Sisdiknas menentukan bahwa penyelenggara dan satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan (BHP). Artinya, sekolah atau madrasah serta PT akan otonom bila secara hukum diberi status sebagai badan hukum, yaitu pemilik hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban pendirinya.
Saat ini, DPR dan pemerintah sedang membahas rancangan undang-undang (RUU) BHP untuk memenuhi amanat UU Sisdiknas tersebut. Namun, dalam perjalanannya, pembahasan RUU BHP kerap menimbulkan pro dan kontra.
Banyak kalangan pengamat dan praktisi pendidikan yang mengkhawatirkan adanya agenda liberalisasi pendidikan di balik BHP tersebut. Tak kurang pengamat pendidikan Darmaningtyas dari Perguruan Taman Siswa dan Prof HAR Tilaar serta Prof Dr Winarno Surakhmat berkali-kali mengingatkan bahwa RUU BHP tersebut akan mengarahkan dunia pendidikan Indonesia ke komersialisasi. Mereka mencontohkan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang tidak lagi menjadi kampus orang-orang desa, karena porsi anak-anak berprestasi dari keluarga miskin sudah sangat minim.
Demikian pula di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Indonesia (UI), umumnya mereka yang masuk di PTN ini adalah mahasiswa yang keluarganya ada di Jakarta dan sekitarnya, atau anak pejabat dan orang kaya dari daerah. Sedangkan, mahasiswa dari latar belakang kurang mampu, jumlahnya makin kecil, karena sistem penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang bisa membayar, justru diperkuat.
Meski demikian, pemerintah dan DPR tetap bersikeras menilai bahwa RUU BHP tidak seperti yang dikhawatirkan itu. "Saya tegaskan kembali, BHP tidak akan pernah meliberalisasikan pendidikan nasional," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, seusai memberikan pengarahan dalam Rapat Kerja Nasional Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Kopertis wilayah I-XII, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia mengemukakan, pada prinsipnya, BHP merupakan satu bentuk reformasi dalam bidang pendidikan. Menurutnya, kriteria reformasi di bidang pendidikan adalah akuntabilitas, transparansi, nirlaba, dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan, termasuk PT.
Mendiknas menegaskan, keberadaan UU BHP, bukan ditujukan komersialisasi pendidikan. Komersialisasi baru terjadi kata Mendiknas, jika sudah ada profit making. "UU mengatakan silakan mencari sisa lebih, tapi kalau sudah ada sisa harus diinvestasikan balik untuk pendidikan," katanya.
Dikatakan, banyak beranggapan munculnya UU BHP justru menciptakan komersialisasi pendidikan. "Sikap seperti itu tidak benar. Justru setelah ada UU itu satuan pendidikan dapat menekan biaya pendidikan, sehingga memberikan kesempatan lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan murah. Mari dibuktikan dulu manfaatnya. Jangan terlalu berprasangka," katanya.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dikti Depdiknas) Fasli Jalal, dalam suatu kesempatan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengemukakan, UU Sisdiknas menegaskan bahwa BHP berprinsip nirlaba. Ini berarti, semua sisa lebih dari kegiatan yang dilakukan BHP, harus dikembalikan untuk kepentingan pengelolaan satuan pendidikan di dalam BHP. "UUD 1945 serta UU Sisdiknas menjamin alokasi 20 persen dari APBN dan APBD untuk mendanai pendidikan, sehingga pemerintah tidak lepas tanggung jawab dan akan tetap mendanai penyelenggaraan pendidikan.
Ditanyakan akses bagi kelompok yang kurang beruntung dalam memperoleh pendidikan, dia menegaskan, BHP juga memegang asas berkeadilan. Yakni, memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, agama, serta kemampuan ekonomi.
"Sehingga, mereka yang berasal dari golongan kurang mampu bisa tetap bersekolah. Kan sudah ditegaskan dalam pasal mengenai pendanaan," katanya.
Kampus Universitas Indonesia, di Jalan Salemba, Jakarta. Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang BHP menjadi UU nanti dikhawatirkan akses orang miskin ke perguruan tinggi makin kecil.Kelas DuniaMenurut pemerintah, perubahan format PT menjadi BHP memungkinkan otonomi
seluas-luasnya. Dengan demikian, misalnya, rektor akan lebih kreatif dan tak lagi terkungkung oleh struktur dan mekanisme birokrasi.
Selain itu, otonomi ini menjadi prasyarat bagi kreativitas dan inovasi untuk menuju universitas kelas dunia. Sebab, selama ini PT terjerat dalam struktur dan mekanisme birokrasi yang pada kenyataannya rektor justru tunduk kepada para pejabat di eselon tiga atau empat yang ada di Depdiknas dan Depkeu. *