Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Indonesia Butuh Rekayasa Struktural Pendidikan Mon Jun 23, 2008 11:13 am | |
| Indonesia Butuh Rekayasa Struktural Pendidikan SP/Alex Suban SUARA PEMBARUAN DAILY Para panelis, dari kiri ke kanan, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Sekjen ICRP Theophilus Bela, Sekjen Walubi Philip Widjaja, dan Dosen STT Jakarta Septemmy E Lakawa memberikan pandangan dalam dialog bertajuk "Kemiskinan dan Kebodohan Bangsa Masalah Kita Bersama" di kantor HU "Suara Pembaruan", Jakarta, Selasa (17/6/2008).
Jawaban terhadap kemiskinan dan kebodohan adalah pendidikan. Dari model pendidikan yang ada di negeri ini sekarang, kreativitas bangsa habis. Pemerintah belum melihat bahwa pendidikan adalah sebuah potret yang besar, pendidikan baru dilihat sebatas yang mikro saja. Pemerintah harus melakukan intervensi dan segera membuat rekayasa struktural yang berkelanjutan dalam dunia pendidikan yang beretika di Indonesia. Pendidikan perlu terus diinovasi dan tidak tenggelam dalam arus globalisasi, untuk itu harus ada intervensi kreatif, selain dari pemerintah juga dari masyarakat.
Pokok-pokok pikiran ini tertuang dalam acara bulanan "SP Dialog", yang bertema "Kemiskinan dan Kebodohan Bangsa Masalah Kita Bersama", yang diselenggarakan oleh HU Suara Pembaruan, Selasa (17/6) di kantor SP, Jl Dewi Sartika, Cawang, Jakarta. Narasumber terdiri dari Rektor Paramadina Dr Anies Baswedan, Dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta Septemmy E Lakawa, MA, Sekjen Walubi Prof Dr Philip Widjaja, dan Sekjen ICRP Theophilus Bela, MA.
Acara ini dihadiri oleh Pemimpin Umum/Pemred Senior Suara Pembaruan, Wim Tangkilisan, Pemimpin Redaksi, Primus Dorimulu, dan jajaran redaksi SP. Sebagai peserta hadir pula berbagai aktivis masyarakat, tokoh pendidikan dan agama, antara lain, Jonathan Parapak, Rektor Universitas Pelita Harapan (UPH) yang juga Dewan Redaksi SP.
Anies Baswedan mengemukakan intervensi struktural baik dari badan negara maupun nonnegara sangat krusial dilakukan, demi membuka akses pada pendidikan yang berkualitas, melanjutkan kesuksesan seperti yang dilakukan pada tahun 1950-an. Jika tidak ada intervensi dari pemerintah, Anies khawatir, problema di negara ini akan semakin membesar bukannya mengecil dan tidak akan pernah terselesaikan. "Terlebih mengingat biaya pendidikan tinggi yang sangat tinggi, sehingga tidak memungkinkan masyarakat mengenyam pendidikan tinggi", tandasnya.
Doktor dari Northern Illinois University, USA ini menyayangkan, pemerintah belum memandang pendidikan sebagai rekayasa struktur yang penting untuk jangka panjang atau masa depan. Anies menilai, pemerintah masih melihat pendidikan sekadar sebagai pencerdasan sehingga pemerintah lebih berfokus pada permasalahan mikro. Dan hal itu dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak proporsional, salah satunya seperti penetapan standar nilai ujian nasional. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional semestinya menempatkan diri sebagai arsitek dalam dunia pendidikan dan perekonomian bangsa.
Ia juga menilai, banyak hal yang tidak direncanakan dengan baik oleh pemerintah untuk Indonesia. Bangsa ini, imbuhnya, tidak memiliki sisi kolektif, yaitu "lack of vision" atau tidak memiliki perencanaan tentang bagaimana masa depan pendidikan dalam jangka waktu lima puluh tahun yang akan datang. Padahal, perencanaan sangat penting untuk dijadikan patokan atau guideline untuk memudahkan penyiapan pendidikan para generasi baru.
Peran Orang Tua
Sementara itu, Jonathan Parapak mengemukakan, kemiskinan dan kebodohan bangsa adalah masalah kita bersama, menjadi kepedulian bersama, dan harus ada satu pola konsepsi sebagai solusi. Masalah ini bukan saja menjadi urusan pemerintah, tetapi justru yang paling penting dan nomor satu dalam kemajuan pendidikan adalah peran orang atau keluarga. Baru kita lihat agama, kemudian masyarakat dan terakhir barangkali pemerintah.
"Saya pikir kalau kita semua bertanya kepada ahli pendidikan, mengapa timbul kebodohan, pasti kembali pada basic, pendidikan anak-anak dalam keluarga," katanya.
Rektor UPH itu mengatakan sistem pendidikan yang ada membuat bangsa ini bodoh dan miskin. Kreativitas dihabisi. "Itu betul, saya perhatikan anak-anak kita kreativitasnya tinggi sebelum masuk sekolah, begitu masuk sekolah, lalu tamat SMU jadi malas belajar. What's wrong dengan sekolah-sekolah kita, apa artinya? Akhirnya, muncul jawaban konsepsional, yaitu intervensi, tapi jangan hanya pemerintah. Kami di UPH juga mengadakan intervensi, kami berjalan keliling Indonesia, menggalang 500 anak-anak untuk kita sekolahkan jadi guru. Ini kembali ke seluruh Indonesia memperbaiki sistim pendidikan," tandasnya.
Sinergi
Dosen STT Jakarta, Septemmy E Lakawa, mengatakan pendidikan perlu diintervensi dan direkayasa, harus terus diinovasi, sehingga muncul intervensi kreatif. Untuk itu, semua harus bersinergi, semua harus terlibat. "Sebenarnya sudah ada yang kreatif dalam masyarakat dengan cara mencari bibit-bibit unggul, seperti yang misalnya yang dilakukan UPH. Bisa juga dengan mengambil 10 persen anak-anak pintar di Indonesia dengan mendidik mereka berbeda dengan anak-anak lain.
Model seperti ini sudah ada juga yang melakukannya," lanjutnya. Pada bagian lain dosen mata kuliah feminis dan misi yang sedang mengambil doktor di School of Theology, Boston University, USA, mengatakan pendidikan agama memegang peranan yang sangat besar dalam memajukan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia.
Harus ada etika baru yang dibangun, di mana intervensi agama yang kuat juga diterapkan. Contoh pendidikan agama yang diterapkan adalah ajaran-ajaran yang sentral, itu adalah tugas yang besar. "Kritik saya terhadap pelajaran agama di sekolah-sekolah di Indonesia saat ini adalah pengajaran agama yang cenderung mengajarkan doktrin, sehingga anak-anak hanya menghafal isi ajaran dan lupa bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan mereka masing-masing," katanya.
"They forgot how to do it". Mereka lupa bahwa yang paling mendasar adalah etika, mereka tidak menemukan diri mereka di mata orang lain. Sehingga mereka tidak dapat mengenal diri mereka sendiri dari orang lain, tambah Septemmy.
Senada dengan itu, Theophilus Bela mengatakan, banyak universitas yang ditopang lembaga keagamaan, misalnya Universitas Muhammadiyah, Universitas Atma Jaya, sama juga seperti di Amerika Serikat, namun berbeda dengan di Eropa, umumnya universitasnya negara yang menjalankan. Para elite kita disponsori oleh lembaga-lembaga agama, yayasan- yayasan itu berkepentingan bahwa pendidikan agama tidak boleh dilupakan.
Prof Dr Philip Widjaja menambahkan, pengelolaan negara melalui aset-aset yang dimiliki bangsa haruslah benar, sehingga melalui kekayaan yang dimiliki negara itu diprioritaskan masalah pendidikan. Dalam pendidikan, dimensi sosial yang paling mendasar dan kemanusiaan adalah mengajarkan ritual atau doktrin. [WWH/VL/R-8]
| |
|