Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengungkapkan kenapa ia bicara keras soal flu burung dan Askeskin. Soal penelitian susu formula yang tercemar bakteri, Siti Fadilah menduga ada orang yang tak senang pada pemerintah, yang sengaja mem-blow up hasil penelitian tahun 2006 itu. Ia, mengutip Badan POM, mengatakan bahwa penelitian itu sebenarnya untuk membuat suatu kit yang dapat mendeteksi bakteri tersebut. "Namun pihak yang mem-blow up sengaja membuat kesan bahwa itu untuk menunjukkan persentase pencemaran susu yang beredar. Masyarakat jadi panik. Mereka mengira, 20% susu yang beredar mengandung bakteri tidak menguntungkan," paparnya. Menyangkut tudingannya terhadap negara maju, Siti Fadilah mengatakan bahwa posisinya bukan cuma sebagai Menkes, melainkan sebagai pemimpin dari negara berkembang, yang selama ini dijajah terus. "Kita sebenarnya dijajah karena suka menghalus-haluskan. Misalnya, utang dibilang bantuan. Orang miskin dibilang prasejahtera. Defisit anggaran dibilang anggaran berimbang," katanya menegaskan.
Ucapannya selalu blak-blakan. Soal flu burung, misalnya, tanpa sungkan-sungkan ia menuding, sejumlah negara telah memanfaatkan virus yang disimpan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk dijadikan vaksin. Bahkan tak tertutup kemungkinan dikembangkan menjadi senjata biologis.
Dia yang biasa bicara terus terang itu adalah Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan (Menkes) RI. Wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah, 59 tahun lalu, ini merasa yakin dengan apa yang dia sampaikan, meski hal itu mengundang kontroversi. Entah itu soal Askeskin, flu burung, maupun susu formula.
"Saya hanya ingin bersikap jujur, tidak bohong," katanya kepada wartawan Gatra Syamsul Hidayat dan Aries Kelana, serta pewarta foto Tresna Nurani S. Widada dan Yongki Handianto, ketika dua kali bertandang ke rumah dinas Siti Fadilah di Kuningan, Jakarta Selatan. Petikannya:
Susu formula yang terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii menjadi ramai dibicarakan setelah ada pernyataan Anda.Isu itu pertama ada pada Badan POM. Saya mendapat laporan, ada penelitian bahwa ada bakteri di dalam susu. Itu membuat keresahan. Memang sengaja dibuat resah oleh seseorang. Saya tahu persis siapa orangnya, karena sebelumnya dia mengancam lewat SMS: "Saya akan mem-blow up soal ini." Saya tahu isu itu sengaja dibuat karena menggunakan data penelitian tahun 2006.
Siapa orang itu?imageTidak mungkin saya sebutkan. Yang jelas dari dalam negeri, tapi yang tidak suka pada pemerintah.
Apa alasan Anda sampai berkesimpulan bahwa itu rekayasa?
Saya ini kan peneliti. Dokter jantung yang peneliti. Jadi, kalau mencermati penelitian, itu bisa sangat cepat. Dari kesan saja, menurut saya sebagai peneliti --bukan sebagai Menkes-- itu tidak pas. Sebab 22 sampel itu tidak cukup representatif untuk menggambarkan persentase tercemarnya susu di masyarakat.
Kata Badan POM, penelitian itu sebenarnya untuk membuat suatu kit yang dapat mendeteksi bakteri tersebut. Namun pihak yang mem-blow up sengaja membuat kesan bahwa itu untuk menunjukkan persentase pencemaran susu yang beredar. Masyarakat jadi panik. Mereka mengira, 20% susu yang beredar mengandung bakteri tidak menguntungkan.
Dari kasus itu, kelihatan Anda sering mengeluarkan pernyataan yang terlampau berani.
Semua orang bilang, saya terlalu berani.
Ada yang menuding Anda sok pahlawan?Kalau nasionalis, iya. Saya adalah musuh di mata orang kapitalis. Saya adalah coro (kecoak) di mata kolonialis. Tapi mungkin di mata nasionalis, saya adalah teman, bukan pahlawan.
Jarang ada menteri seberani Anda. Adakah yang membekingi Anda?
Nggak, tuh. Aku cuma takut sama Allah. Aku anaknya kiai. Sedari kecil, kalau aku ketahuan bohong, dihukum. Kalau aku bohong, suatu saat pasti orang akan tahu. Aku tidak mau seperti itu.
Keberanian Anda berkomentar menimbulkan kesan, seperti yang disebut-sebut media asing, bahwa Anda seperti preman.Saya ingin mengajari bangsa ini. Yang terjadi sekarang, orang yang berbohong malah yang bisa diterima. Banyak orang terpaksa berbohong hanya karena ingin disukai. Ketika omong apa adanya, justru dibenci. Tapi saya tidak begitu. Biarlah mereka tidak senang terhadap saya, yang penting saya jujur ngomong apa adanya.
Tapi, dalam soal kehati-hatian?Perkara itu dianggap tidak hati-hati atau tidak, tergantung hati saya. Tapi saya sudah hati-hati. Saya bilang bahwa penelitian itu memang tidak untuk itu.
Dalam buku Anda, Amerika Serikat dan Australia disebut-sebut sebagai negara yang mencuri virus flu burung asal Indonesia. Apakah ini bukan cermin ketidakhati-hatian?
Nggak. Itu memang yang terjadi. Pada waktu saya di-blow up Australia, (ditanya) apakah Anda mengatakan bahwa Australia mencuri virus Anda. Itu pada awal tahun 2007. Saya jawab, "Something like that." CSL, perusahaan swasta Australia yang membuat virus strain Indonesia, pasti mencuri dari saya. Tapi saya tidak tahu dia mencuri dari mana. Paling itu dari WHO, sehingga saya mengatakan something like that. Kalau saya dikatakan menuduh, ya!
Sebagai menteri, Anda perlu menjaga kebijakan hubungan luar negeri dengan negara lain.
Nggak apa-apa to. Nyatanya menang. Sebenarnya posisi saya di situ bukan cuma sebagai Menkes, tapi sebagai leader dari negara berkembang yang selama ini dijajah terus. Kita sebenarnya dijajah karena suka menghalus-haluskan. Misalnya, utang dibilang bantuan. Orang miskin dibilang prasejahtera. Defisit anggaran dibilang anggaran berimbang.
Dalam buku itu, Anda menuduh Amerika. Apakah ada bukti bahwa Amerika membuat vaksin dan virusnya akan dipakai untuk senjata biologis?
Bukti langsung sih tidak. Secara eksplisit, itu tidak ada. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Ada bukti secara tidak langsung menuju ke arah sana. Kita punya pengalaman soal cacar.
Bagaimana latar belakang WHO meminta Indonesia mengirimkan virus?
Virus itu diminta untuk diagnosis, untuk mengetahui, misalnya, bahwa ternyata virus itu masih bersifat hewan ke manusia, bukan manusia ke manusia. Itu buat diriset dan dipublikasikan barangkali. Tapi bukan untuk dibuat jadi vaksin. Dia (WHO) tidak pernah ngomong selama 60 tahun ini bahwa itu dipakai untuk membuat vaksin dari virus orang-orang dari negara berkembang.
Apa kekhawatiran Anda?Yang membuat vaksin itu adalah pabrik-pabrik di negara kaya. Kalau di negara miskin ada yang sakit, negara kaya malah panen virus dan membuat vaksin. Ya, lama-lama ingin memanen terus. Perdagangan vaksin itu mencapai ratusan milyar dolar. Yang miskin sakit terus, yang kaya makin kaya. Pada 26 Desember 2006, saya menyetop pengiriman virus flu burung karena mereka tidak fair.
Lantas, bagaimana mekanisme seharusnya?Adil. Artinya, yang mengirim virus punya hak atas virus, kendati virus itu sudah direkayasa menjadi seed virus. Seed virus adalah virus yang telah dipisahkan atau dimurnikan. Juga virus yang bisa diubah-ubah, apakah mau dilemahkan, diganaskan, atau diubah sifatnya.
Maksud Anda, yang adil bagaimana?Kalau mengirim virus, saya punya hak berapa atas seed virus. Saya punya hak berapa kalau dibuat vaksin. Lalu transparan, seed virus itu akan dikemakan.
Manfaatnya apa?Kalau terjadi pandemi atau kejadian luar biasa di negara miskin, negara miskin tidak makin miskin karena membeli vaksin. Negara itu akan mendapat bagian keuntungan dari vaksin.
Upaya apa yang Anda lakukan untuk itu?WHO mengakui bahwa mekanisme selama ini tidak adil dan tidak transparan. Mereka harus membuat sistem yang adil dan transparan. WHO juga harus membuat tim kerja kecil yang melibatkan Indonesia untuk membuat mekanisme itu. Sekarang dalam proses. Satu lagi dengan material transfer agreement (MTA). Menurut MTA, kalau virus itu keluar dari negara ini dan dipakai, yang memakai harus mengajukan izin kepada negara yang mengirimkan.
Mengapa setelah setahun, Indonesia mengirimkan lagi virusnya?Karena sudah ada deal dengan WHO dan Amerika Serikat. Saya menunggu kejujuran mereka. Kalau ternyata mereka melanggar, kami tidak akan mengirimkan lagi virusnya.
Langkah lain Anda?
Laboratorium yang ada di sini akan dibesarkan. Kami berani begitu karena menang. Kami akan membuat laboratorium flu burung. Ada dua laboratorium, salah satunya di Lembaga Eijkman.
Bagaimana soal Askeskin?Saya buat mekanisme baru. Kalau itu saya buat, dan saya kemudian untung, orang boleh curiga. Tapi mekanisme itu tak menguntungkan saya. Saya cuma ingin menyelamatkan program Askes yang saya galakkan pada saat saya jadi menteri baru tiga hari. Juga menyelamatkan uang negara agar betul-betul untuk si miskin.
Ada apa dengan PT Askes?Selama ini, uang negara dititipkan ke Askes. Tapi terjadi mismanajemen yang kebangetan dari Askes, sehingga terjadi penggelembungan Rp 1,17 trilyun. Mulai kepesertaan hingga klaim tagihan rumah sakit. Saya sudah mengirim laporan ke BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sebelum berkomentar. Jadi, saya tidak ngawur.
Banyak persoalan yang Anda hadapi di masa mendatang. Salah satunya, pasar bebas AFTA.
Pemerintah memang membuka rumah sakit asing. Tadinya boleh 100% dimiliki asing. Namun, setelah saya berdiskusi dengan Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu, akhirnya 65%: 35%. Demikian juga untuk perusahaan-perusahaan obat. Kalau kita tidak bisa mengendalikan, itu berbahaya.
Kenapa tidak melonggarkan aturan promosi untuk rumah sakit lokal?Rumah sakit asing pun tidak boleh berpromosi. Hanya saja, orang kita gampang terpengaruh. Menganggap yang dari asing itu yang terbaik. Padahal, di situlah kita akan kehilangan jati diri.
Bagaimana pula dengan obat rakyat?Banyak yang salah tangkap. Dikiranya obat yang harus melalui resep dokter, padahal itu obat OTC (obat bebas). Obat itu masih jalan. Obat itu bertujuan agar obat-obatan generik dan generik bermerek turun harganya. Ternyata benar. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, baru bisa sekali ini diturunkan. Selama ini, harga obat terus naik.
Tapi, mengapa banyak obat yang hilang dari pasaran?Saya sekarang punya pegangan dua peraturan presiden (perpres). Yaitu Perpres Nomor 94 dan 95 Tahun 2007. Di situ, orang di daerah bisa membeli langsung ke pabrik. Nggak usah melalui distributor pun boleh. Dihalalkan. Tapi dengan izin, dan yang menentukan itu Menkes. Menkes punya hak sesuatu bila obat hilang di pasaran.
[Laporan Khusus I, Gatra Nomor 17 Beredar Kamis, 6 Maret 2008]