Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: PTN Kita Mahal dan Tak Akuntabel Fri Jun 27, 2008 2:22 pm | |
| PTN Kita Mahal dan Tak Akuntabel Ahmad Rizali SUARA PEMBARUAN DAILY Lebih dari 90 persen murid SLTA dinyatakan lulus ujian nasional. Dan nasib mereka belum jelas, apakah akan meneruskan ke perguruan tinggi dan menjadi bagian dari 3,39 persen total penduduk Indonesia yang mampu menyelesaikan politeknik dan perguruan tinggi (BPS-UNESCO 2006) atau menjadi penganggur dan menjadi bagian dari 35,5 persen penganggur yang berjumlah 11 juta (Depdiknas 2006).
Pesimisme untuk dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (PT) merebak ketika pem-bayaran uang pangkal memasuki perguruan tinggi negeri (PTN) yang beberapa tahun lalu masih terjangkau, saat ini semakin susah diraih (SP, 2008) karena be- berapa PTN yang sudah diperbolehkan mengelola sendiri keuangannya dan dikurangi subsidinya mulai kerepotan mengelola defisit keuangan mereka.
Perguruan tinggi negeri yang disebut Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu mulai memberikan kelonggaran kepada murid yang kaya untuk menjadi mahasiswa dengan mengikuti ujian khusus. Peserta yang lulus wajib membayar uang pangkal melebihi Rp 200 juta. Sementara itu, semakin banyak calon mahasiswa pandai, namun miskin yang tidak mampu kuliah di PTN akhirnya menerima tawaran menjadi mahasiswa di PT tetangga dengan jaminan pekerjaan sesudah usai kuliah. Ini upaya "pencurian potensi anak bangsa" secara terang-terangan dan negara tidak mampu berbuat apa pun.
Di saat kritis seperti inilah pemerintah dan legislator sedang menggodok RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang diharapkan mampu mengatur PTN agar tetap terjangkau calon mahasiswa miskin.
Berbicara tentang biaya pen- didikan di PT adalah berbicara tentang ongkos yang dikeluarkan secara riil untuk setiap mahasiswa, setiap tahun sesuai standar minimal pelayanan atau disebut Biaya Satuan Pendidikan. Meskipun Setjen Depdiknas pernah membuat studi perkiraan Biaya Satuan Pendidikan Tinggi (BSPT) pada 2003, namun hasil studi itu tidak cukup akurat, karena perhitungan biaya satuan tidak didasarkan pada kaidah akuntansi biaya. Sehingga, hasilnya hanya bisa disebut sebagai anggaran BSPT negeri, bukan biaya satuan pendidikan sebenarnya, karena tidak dihitung secara riil dan dibukukan sesuai kaidah GAAP (Generally Accepted Accounting Procedure).
Namun, karena tak ada pilihan lain, mengingat belum pernah ada PTN yang membuat laporan keuangan sesuai kaidah dengan mengikuti Sistem Akuntansi Pe-merintahan (SAP) dipakai perkiraan anggaran biaya satuan pendidikan tersebut sebagai rujukan utama, yaitu biaya tertinggi Rp 20,1 juta per mahasiswa per tahun untuk bidang ilmu kedokteran dan biaya terendah Rp 14,5 juta ilmu humaniora, dengan rata-rata seluruh bidang keilmuan sekitar Rp 18,1 juta. Angka ini diperoleh dengan model perhitungan rumit, penuh asumsi, dan perkiraan gaji dosen berkisar Rp 5,2 juta sampai Rp 7,7 juta setiap bulan (Depdiknas, 2003),
Membingungkan
Dengan dasar perkiraan anggaran BSPT itulah PTN selalu berkilah bahwa semua upaya mereka me-mungut dana yang besar dari mahasiswa masih dapat dikatakan lebih kecil dari perkiraan anggaran BSPT tersebut. Kilah itu mem- bingungkan karena patokan tersebut bukanlah biaya satuan riil dan bisa saja asumsinya salah. Terlebih lagi memungut uang pangkal dan uang kuliah memang paling mudah dan pasti dibayar oleh calon mahasiswa, karena ketersediaan PTN yang mampu memberikan pelayanan minimal masih jauh lebih se- dikit dibandingkan dengan keinginan mahasiswa untuk memasuki perguruan Tinggi. Unesco dan BPS (2006) mencatat, lebih dari 450.000 calon mahasiswa berebut 75.000 bangku kuliah di PTN.
Selain itu, PTN tidak kreatif untuk menjual kompetensinya kepada para donatur dari berbagai perusahaan dan pendana asing dan umumnya dana hanya mengalir ke PTN yang pada dasarnya sudah mapan serta akan memberikan kredit nama kepada penyumbang dan mengabaikan PTN pinggiran yang tergolong "miskin". Lebih dari itu, semua PTN masih kurang menggalang dana dari alumninya.
Terlepas dari semua hal tersebut, hingga saat ini gaji dosen di PTN mapan, seperti UI, masih lebih rendah dari koleganya seorang guru di DKI, sekalipun UI sudah memungut Rp 25 juta uang pangkal untuk Fakultas Kedokteran, Teknik dan Ilmu Komputer, Rp 10 juta untuk Ekonomi, Hukum, FISIP dan Psikologi, serta Rp 5 juta untuk MIPA, Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Budaya dengan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) se- besar Rp 7,5 juta per semester hingga gratis. Sehingga, masih banyak PTN yang masih defisit, meskipun sudah disubsidi oleh pemerintah.
Namun, pemerintah juga malas berpikir kreatif dalam mencari sumber pendanaan pendidikan dengan hanya mengandalkan APBN dalam menyubsidi PTN. Pemerintah hanya menggunakan instrumen pajak sebagai alat fiskal, belum sebagai alat regulasi dan tentu saja kelabakan menyubsidi semua PTN. Padahal, jika kepada donatur perusahaan dan donatur pribadi diberikan keringanan pajak jika menyumbang PTN, maka akan cukup banyak dana ter- salurkan untuk menambal ke- kurangan subsidi kepada PTN.
Ketidakakuratan dan ketidakkonsistenan menghitung BSPT tentu berpengaruh pada perhitungan jumlah subsidi yang harus ditanggung pemerintah dan biaya yang harus dibayar oleh mahasiswa, serta defisit yang harus ditambal dengan mencari donatur ke pihak lain. Jika biaya satuan tidak akurat, perhitungan subsidi, kewajiban mahasiswa, dan besar donasi yang diperlukan pun hanya perkiraan, tidak akurat, artinya PTN tidak akuntabel dalam urusan pendanaan.
Sudah semestinya semua PTN BHMN mampu menjadi model dalam menghitung dengan akurat berapa BSPT per tahun dengan rujukan standar pelayanan minimal dari Standar Nasional Pendidikan (SNP). BSPT riil yang di- peroleh dapat dibandingkan di antara sesama BHMN dan hasil rerata untuk setiap bidang ilmu dapat dipakai sebagai rujukan utama BSPTN. Sehingga, jika RUU BHP menetapkan bagian subsidi pemerintah sedikitnya 30 persen akan diketahui secara akurat berapa angka nominalnya.
Jika BHMN belum mampu, pemerintah harus menugaskan be- berapa PTN atau bahkan PT swasta untuk menjadi model perhitungan BSPT, bukan anggaran BSPT yang ditunjukkan oleh besarnya uang pangkal dan uang SPP tiap semester serta uang pungutan lain. Apalagi PTN adalah institusi milik pemerintah, yang seperti halnya sekolah negeri, dalam mengelola keuangannya harus menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Perguruan tinggi swasta berbadan hukum yayasan dapat menggunakan Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 45 untuk organisasi nirlaba, sedangkan yang berbadan hukum perseroan terbatas dapat menggunakan PSAK untuk PT, sehingga istilah biaya satuan atau unit cost tidak simpang siur dan tanpa arti.
Dengan hitungan biaya satuan yang akurat dan riil, semua pemangku kepentingan dapat melihat seberapa efektif dan efisien, serta transparan sebuah PTN model di- kelola, yang dapat dibandingkan setara dengan PTN sejenis. Yang paling penting adalah subsidi negara pun menjadi tepat guna dan tepat sasaran, karena PTN akhirnya akan akuntabel, tidak seperti saat ini.
Penulis adalah Ketua Dewan Pembina The Centre for the Betterment of Education (CBE) Jakarta, alumnus UI dan HR Management Business School Strahclyde University, UK | |
|