Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: "The End of Laissez-Faire" Sat Oct 11, 2008 6:15 pm | |
| "The End of Laissez-Faire" SUARA PEMBARUAN DAILY Oleh Guru Besar FE UI dan Guru Besar Luar Biasa FE Unair Sri-Edi Swasono
Adalah awal yang baik bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak kita optimistis, Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono mengajak kita tidak panik, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengadakan rapat darurat dan giat memantau situasi perekonomian global. Namun, ada baiknya pemerintah mendengarkan dengan serius pendapat-pendapat lain dari lingkungan kritis yang lebih luas, demi kepentingan nasional bersama.
Malapetaka finansial AS, yang kemudian berubah menjadi malapetaka ekonomi, tidak terlepas dari ideologi fundamentalisme pasar yang melekat pada Presiden Bush, yang meneruskan keyakinan Presiden Reagan, bahwa pasar jangan diatur. Ideologi liberalisme dengan persaingan bebas dan pasar bebas (laissez-faire) harus dipelihara.
Bagi Presiden Bush (pidato di Monterrey, 22 Maret 2002), ideologi pasar bebas adalah bagian dari National Security Strategy AS. Sekarang, pasar-bebas sedang menampilkan wujud aslinya sebagai pasar tak terampil, penuh cacat, dan kegagalan (market failures).
Kepanikan
Di AS terjadi kepanikan. Tokoh investasi AS, Warren Buffett, mengisyaratkan awal kehancuran ekonomi AS, ibarat hancurnya Pearl Harbor oleh serangan udara Jepang. Artinya bisa sangat dahsyat.
Harga saham di seluruh dunia berguguran. Dow Jones terjun bebas, mencetak rekor terendah sejak empat tahun lalu. Asumsi para fundamentalis pasar bahwa pasar adalah mahatahu (omniscient) dan mahaampuh (omnipotent), yang secara otomatis bisa mengoreksi diri dan mengatur sendiri melalui tangan silumannya (invisible hand), menunjukkan bukti omong kosongnya.
Krisis keuangan AS adalah akibat kerakusan kapitalisme. Kredit awut-awutan melaju, hingga mengakibatkan kredit berkembang tanpa kehati-hatian. Diawali oleh krisis sub-prime mortgage, kredit pemilikan rumah di AS, tahun lalu, yang diperkirakan mencapai US$ 2 triliun, menjadi utang penuh risiko dan menyandang nama utang beracun (toxic debt), karena nyaris tanpa jaminan.
Kerakusan kapitalisme membuka topengnya sendiri. "Rakus adalah baik" (doktrin greed-is-good) sebagai semboyan efisiensi kapitalisme, berubah brutal menjadi kerakusan serakah.
Surat-surat kredit berkembang melalui jaminan-jaminan yang dijaminkan berupa derivatif-derivatif. Akibatnya, beredar menjadi modal-modal semu, sebagai buih (bubble loans). Spread antara nilai intrinsik dan nilai nominal surat-surat kredit makin melebar. Akibatnya, harga surat-surat kredit anjlok menjadi junk papers. Harga saham terbawa anjlok pula.
Keraguan dan ketidakpastian menumbuhkan kepanikan bisnis yang menyedot perhatian, sehingga tak ada waktu memberi perhatian pada pembangunan sektor riil yang riskan. Akibatnya, pengangguran meningkat. Pada September saja, berkurang hampir 160.000 pekerja, dan kegiatan produktif anjlok.
Ketakutan akan terjadinya resesi bukanlah mengada-ada. Apa yang dikhawatirkan Prof Joseph Stiglitz, bahwa lem- baga keuangan AS bisa lumpuh dan berhenti meminjamkan dana ke sektor riil, tampaknya benar-benar terjadi.
Dampak Lehman Brothers
Ekonomi Indonesia tidak terlepas dari krisis keuangan AS. Modal dan transaksi ekonomi dengan AS cukup aktif hidup dalam perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu contohnya, Lehman Brothers, yang utangnya mencapai US$ 600 miliar, telah menyatakan diri bangkrut.
Bukan rahasia lagi, Lehman Brothers banyak berinvestasi di perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Akibat langsung kita saksikan, saham-saham perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkait dengan Lehman Brothers anjlok jauh sekali di atas rata-rata anjloknya saham-saham di Indonesia.
Ada yang bilang, modal asing jangka pendek, termasuk yang ditahan di bursa di Indonesia, mencapai sekitar US$ 50 miliar. Karena itu kita harus mewaspadainya. Jangan sampai terjadi pelarian modal terlampau besar, sehingga perlu diciptakan kesempatan menghasilkan yield yang menarik di Indonesia.
Pengetatan kontrol devisa kita berlakukan untuk menahan pelarian modal. Sebaliknya, pemasukan modal luar negeri kita dorong, tanpa kelewat mencurigainya sebagai pencucian modal. Negara-negara lain toh melakukannya.
Rezim devisa bebas bukan zamannya lagi, absurd dan obsolete. Dalam keadaan apa pun, sangat potensial merugikan kepentingan nasional, bahkan bisa menjadi sumber malapetaka.
Jaga Pasar Domestik
Pasar domestik dan daya beli rakyat yang terutama harus dipelihara. Pasar domestik kita luas, yang oleh luar negeri saja diincar, perlu kita andalkan demi kemandirian. Proses produksi dalam negeri perlu dilindungi. Jangan biarkan barang-barang murah dari luar negeri, akibat banting harga atau pun karena kompetisi tajam, menjadi pembunuh sektor produksi nasional.
Sebagai satu contoh saja, jangan biarkan tekstil murah bermotif batik dari Tiongkok membunuh usaha perbatikan di Indonesia. Pengutamaan produk dalam negeri harus kita tegakkan.
Kita amati situasi negara-negara tujuan ekspor, jangan sampai nanti ada hambatan dalam pembukaan dan pencairan L/C. Impor yang bersifat konsumtif kita batasi dengan berbagai cara. Prioritasnya, menyelamatkan pasar domestik. Jangan sampai deposito-deposito kita di luar negeri terbekukan oleh alasan krisis.
Menurut catatan akademis saya, sudah lima kali ditegaskan perlu diakhirinya pasar-bebas (the end of laissez-faire). Pertama, oleh John Maynard Keynes sendiri (1926). Kedua, oleh Polanyi (1944). Ketiga, oleh Myrdal, Galbraith dan seterusnya (1957-1960). Dan keempat oleh Kuttner, Thurow, Sen, Soros, Stiglitz dan seterusnya (1990-2002). Intinya, pasar penuh kegagalan, terutama mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural. Hurwicz, Maskin, dan Myerson, ketiganya penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2007, menjadi penegas kelima.
Hatta juga telah menegaskan hal ini (Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, Batavia, 1934). Tetapi, mengapa setiap kali laissez-faire dihujat agar diakhiri, setiap kali laissez-faire muncul lagi? Mengapa laissez-faire menjadi living legacy? Jawabnya jelas, karena kapitalisme dan neoliberalisme ekonomi hanya bisa hidup subur dalam pasar-bebas, agar tetap perkasa sebagai predator terhadap negara-negara lemah ekonomi. *
| |
|