Manan Presiden Soeharto setelah menjalani pemeriksaan di unit radiologi Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (8/1). Pengacara mantan Presiden Soeharto menyatakan bahwa selama ini biaya perawatan kesehatan penguasa Orde Baru itu, murni dari kantong sendiri, tidak pernah dibayari oleh negara.
Dirawatnya mantan Presiden Soeharto selama belasan hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan, membuahkan banyak komentar. Pro kontra soal kasus hukumnya, pro kontra dukungan doa dan sebagainya. Semuanya menjadi bahan perbincangan, baik lesan maupun dituangkan dalam tulisan.
Satu di antaranya adalah perihal pelayanan kesehatan mantan Presiden Soeharto yang ditangani tim dokter kepresidenan dan yang jumpa persnya selalu ditunggu dan disimak dengan seksama oleh media massa. Tindakan menyimak dengan seksama ini wajar, mengingat kasus hukum yang membayangi penguasa Orde Baru itu, yang tentu menjadi bahan menarik untuk melihat langkah-langkah pemerintah selanjutnya terhadap kasus tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, pelayanan kesehatan mantan Presiden Soeharto menjadi terkesan "luar biasa". Ini karena media televisi dengan jelas menayangkan secara visual perihal penanganan dan perawatan kesehatan mantan orang nomor satu di Indonesia itu dan meng-update-nya selalu. Media cetak juga tak kalah sigap dengan membuat data grafis organ-organ tubuh Pak Harto dan memberi keterangan tentang kinerja tiap organ.
Akibat sakitnya Soeharto yang selalu ter-update dan setiap saat televisi menayangkannya sebagai breaking news, maka media pun memunculkan perbandingan pelayanan kesehatan yang pernah diterima mantan-mantan presiden sebelumnya. Dari mantan Presiden Soekarno yang proklamator hingga mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tentu saja yang mengemuka adalah, penanganan dan perawatan mantan Presiden Soeharto yang sangat luar biasa dibanding para mantan presiden yang lain. Pihak pengacara mantan Presiden Soeharto pun menyatakan bahwa selama ini biaya perawatan kesehatan penguasa Orde Baru itu, murni dari kantong sendiri, tidak pernah dibayari oleh negara.
Pernyataan ini menutup polemik tentang diskriminasi pemberian penanganan dan perawatan kesehatan kepada para mantan presiden lainnya. Namun pertanyaan selanjutnya pun muncul, yakni, sejauh mana negara bertanggungjawab terhadap mantan presidennya terutama berkaitan dengan pelayanan kesehatan?
Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, kepada wartawan di ruang kerjanya di kompleks Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (14/1) mengatakan, bahwa pelayanan kesehatan terhadap para mantan presiden dan wakil presiden itu mengacu pada Undang-Undang No 7/1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Bekas Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pasal 7 UU tersebut menyebutkan, selain dari pensiun pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) kepada bekas presiden dan bekas wakil presiden diberikan pula: haruf c: seluruh biaya perawatan kesehatannya serta keluarganya.
UU itu tidak menyebut batas maksimal biaya kesehatan yang harus ditanggung negara.
Menurut Hatta Radjasa, tentang teknis pembayarannya, pihak keluarga menalangi terlebih dahulu, baru kemudian klaim seluruh biaya kesehatan para mantan presiden dan wakil presiden itu disampaikan ke Sekretariat Negara. Kemudian, Sekretariat Negara yang akan memprosesnya ke Departemen Keuangan.
Terkait Soeharto, sejak berhenti dari Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 dan berulang kali keluar masuk RSPP, pihak keluarga belum pernah menyampaikan klaim perawatan kepada pihak Sekretariat Negara. Karena itu kata Hatta Radjasa, pihaknya akan proaktif menanyakan semua biaya kesehatan itu kepada pihak keluarga Soeharto.
Sedangkan terkait mantan Presiden Gus Dur, Hatta bercerita bahwa ketika berada di luar Negeri, Gus Dur dirawat menggunakan dana pihak Kedutaan Besar RI (KBRI). Pihak KBRI kemudian mengklaim pembiayaan itu kepada Sekretariat Negara. Kalau pun belum ada yang diklaim, termasuk biaya cuci darah untuk Gus Dur, dia meminta supaya segera diklaim ke Sekretariat Negara.
Ada juga cerita lain. Ketika Ny Ainun Habibie mengalami sakit keras di Jerman, Hatta Radjasa mengunjunginya. Ketika itu dia bertanya tentang biaya kesehatannya, mantan Presiden Habibie dengan enteng mengatakan bahwa isterinya itu sudah dilayani asuransi dengan sangat baik sekali.
Tentang pelayanan kesehatan terhadap mantan Presiden Soekarno, memang agak lain dari yang lain karena status proklamator saat itu yang dalam pengasingan. Bung Karno - demikian sebutan kepada Soekarno - mengalami stroke ringan akibat terjadinya penyempitan sesaat pada pembuluh darah otak. Soeharto yang kala itu menjadi presiden, di dalam buku Soeharto - Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989) halaman 244-249, seperti dipaparkan Soeharto kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH, menyatakan
"Memang saya menaruh perhatian dan simpati kepada Proklamator kita itu. Tetapi suasana politik memagarinya....Maka pindahlah Bung Karno pada permulaan 1969 ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala. ... Tanggal 16 Juni 1970 saya terima kabar bahwa penyakit beliau tambah parah saja. Saya perintahkan kepada dokter-dokter untuk menjaganya baik-baik dan jika perlu membawanya ke Rumah Sakit Gatot Subroto."
PelaksanaanTentang pelayanan kesehatan itu, bagaimana sebetulnya pelaksanaannya? Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Denny Indrayana yang dihubungi Kamis (17/1) mengatakan, mekanisme klaim pembayaran rumah sakit untuk para mantan presiden dan mantan wakil presiden tidak perlu diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau aturan apa pun. Undang-Undang yang mengatur itu sudah jelas. Apalagi, klaim biaya pengobatan seperti itu adalah hal yang biasa dan tidak terlalu penting untuk diatur secara khusus. "Tidak ada bedanya saya mengajukan klaim askes," ujarnya.
Yang paling penting adalah apakah pihak keluarga perlu mengklaimnya ke negara atau tidak. Bila keluarga mantan presiden atau mantan wakil presiden tidak mengklaim karena merasa mampu, menurut Denny, tidak masalah.
Meski demikian, pemerintah juga perlu pro aktif bertanya kepada pihak keluarga mantan presiden dan mantan wakil presiden tentang jumlah biaya perawatan rumah sakit. Bila keluarga mengatakan bahwa mereka bisa membiayai sendiri, tentu itu sesuatu yang sangat bagus karena anggaran negara bisa dialokasikan untuk kepentingan rakyat yang lain. Tetapi bila memang keluarga mantan presiden dan mantan wakil presiden tidak mampu, silakan mengajukan klaim kepada pemerintah.
"Kalau keluarga Soeharto tidak mau mengklaim biaya perawatan kesehatan mantan Presiden Soeharto kepada negara, tidak masalah. Karena memang mereka sudah kaya tujuh keturunan," ujar Denny.
Sedangkan soal kesan adanya perbedaan pelayanan terhadap para mantan presiden seperti terhadap Soeharto dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Denny mengatakan bahwa sebenarnya hal itu terkait masalah psikologis politik saja, bukan masalah hukum. Karena itu yang harus diatasi adalah menembus masalah psikologis politik itu. [A-21/A-14]