Jumat Agung. Hari Jumat yang agung. Betapa indahnya. Betapa mulianya.
Tetapi, sungguh-sungguh indahkah hari itu? Sungguh-sungguh muliakah saat itu? Apanya yang agung ketika seorang anak manusia menjalani penderitaan sangat tragis?
Lihatlah ke Bukit Tengkorak! Pandanglah ke Golgota! Tengoklah ke Kalvari! Yesus Orang Nazaret tergantung di sana. Ah, Yesus. Mengapa Yesus?
Orang yang selama ini dikenal sebagai orang baik. Yang selalu siap menolong mereka yang berada dalam kesulitan. Yang tidak segan-segan menyembuhkan mereka yang sakit. Yang memberi makan mereka yang lapar. Yang dengan suara lembut bersabda: "Datanglah kepada-Ku, kamu semua yang letih dan haus. Aku akan memberi minum kepadamu!" Mengapa?
Betapa tidak mudahnya kita mencerna "logika" dunia yang tidak selalu logis. Mengapa orang baik menderita, demikian pernah si pemazmur mengeluh, sedangkan orang-orang jahat gemuk-gemuk badannya?
Dan salib. Bukan sekadar tiang palang kreasi orang Romawi yang lazim dipakai sebagai alat hukuman bagi yang diputus bersalah. O tidak. Salib adalah pula simbol tidak terterimanya seseorang. Ditolak dunia, dan tidak diterima Allah. "Terkutuklah dia yang tergantung pada salib!" demikian salah satu naskah kuno yang sangat dikenal Israel.
Ada kengerian di sana. Bukankah rasa ngeri adalah perasaan setiap orang yang tidak terterima di mana-mana? Seseorang yang diasingkan dari pergaulan. Betapa sepinya. Betapa mencekam.
Dan Dia, yang beberapa hari sebelumnya masih dielu-elukan: "Mubaraklah Dia yang datang dalam Nama Tuhan, Hosanna bagi Anak Daud!" sekarang tergantung antara langit dan bumi. Ironis? Tentu saja. Tetapi bukankah kehidupan memang penuh ironi?
Satu penjelasan terhadap peristiwa ini barangkali cukup, dan sangat masuk akal. Setidak-tidaknya disuarakan oleh Kamal Husain, seorang muslim Mesir, penulis novel Qarya Zalimah, Suatu Hari Jumat di Yerusalem. Yang terjadi pada hari itu, ia mendakwa, adalah kematian hati nurani.
Setiap Jumat Agung, ketika Sang Anak Manusia digantung di sana, pada saat itu pula hati nurani kita pun ikut digantung. Dan mati!
Betapa berbahayanya kematian hati nurani. Kita menjadi manusia tanpa perasaan. Tanpa kemampuan untuk berbela rasa. Tanpa kesanggupan untuk bersimpati dan berempati. Kita menjadi manusia mesin. Ini berbahaya bagi peradaban kemanusiaan. Sebab, yang menjadi ukuran adalah diri sendiri. Bukan kepentingan pertumbuhan bersama, di dalam masyarakat manusia yang memperkembangkan budaya yang ber- keadaban.
Maka masuk akal pula ketika penderitaan Sang Kristus dimaknai sebagai penderitaan manusia. Ya, manusia. Manusia sungguhan yang terdiri dari tulang, darah, dan daging.
SP/YC Kurniantoro
Paulus Radiyo (65) memperbaiki anyaman kursi rotan di Gereja Katedral, Jakarta, Rabu (19/3). Berbagai persiapan dilakukan menjelang peringatan perjamuan terakhir, sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus dalam Tri Hari Suci yang dimulai Kamis (20/3).
Bukan manusia yang diidealisasikan dan diabstraksikan. Itulah manusia Saleh yang terpaksa bunuh diri karena tidak mampu meneruskan kehidupan. Ia tidak melihat perspektif untuk melanjutkan hidup ketika harga minyak tanah menjadi begitu tinggi.
Kehilangan harapan. Itulah manusia sang ibu dengan putranya yang mati karena kelaparan dan didera diare di Kota Makassar, tetapi yang masih dicari dalih untuk menyangkal kebenaran peristiwanya oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab.
Itulah manusia, siapa saja yang sungguh-sungguh menderita karena kemiskinan, mereka yang masih berada di bawah tekanan, mereka yang mengalami penyiksaan karena keyakinan. Itulah manusia yang terus didera oleh berbagai bencana alam atau buatan manusia. Itulah kita, masyarakat Indonesia yang masih terus berada di bawah tekanan berbagai krisis yang tidak henti-hentinya.
Penderitaan Kristus adalah cermin penderitaan manusia. Atau sebaliknya juga benar, penderitaan manusia direfleksikan dalam penderitaan Kristus. Dengan ini mau dikatakan, bahwa bahkan Kristus Sang Anak, Kekasih Allah, menderita.
Inilah isyarat sangat jelas bahwa Allah sungguh-sungguh berbela rasa bagi manusia. Bahkan Allah adalah Allah yang menderita. Konon, ketika ritual hukuman gantung terhadap tiga orang hukuman sedang dijalankan di penjara Nazi pada Perang Dunia II, demikian Elie Wiesel, seorang yang survive dari holocaust berkisah dalam novelnya berjudul Nacht, dua orang dewasa dengan segera mati. Tetapi seorang anak kecil yang kurus badannya masih menggelepar-gelepar di tali gantungan. Tidak cepat mati karena tubuhnya yang kerempeng ringan. Pada saat itu seseorang berbisik: "Di manakah Allah?"
Seorang lain menjawab: "Allah tergantung di tiang gantungan itu!" Ya, Ia tergantung.
Aneh? Boleh jadi. Tetapi Allah inilah, kata Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog yang juga mati di tiang gantungan Hitler, yang sungguh-sungguh dapat menyelamatkan. Bukan dengan kuat kuasa, bukan dengan sikap triumphant. Tetapi dengan belas kasih dan kerendahan.
Adakah dengan demikian, kita bersikap pesimistis terhadap kehidupan? Menempatkan manusia di dalam penderitaan tanpa berkeputusan?
Tentu saja tidak. Kita tidak pesimistis. Tetapi kita realistis. Justru penerimaan terhadap penderitaan menguatkan kita untuk memeranginya. Memoria passionis (mengenangkan penderitaan) meneguhkan tekad untuk mengatasi penderitaan.
Ketika pada 21 Maret 2008 umat Kristiani di seluruh dunia mengingat akan kematian Yesus Kristus, pada saat itulah memoria passionis memperoleh aktualitasnya. Tetapi ia hanya bermakna apabila dikaitkan selalu dengan penderitaan manusia yang sangat konkret. Tanpa itu, peringatan itu akan menjadi kosong.
Namun, patut pula diingat bahwa sesudah Jumat Agung, ada Paskah. Kebangkitan! Di sanalah kemenangan atas penderitaan dirayakan. Di sanalah sengat maut dikalahkan, dan kehidupan sejati dianugerahkan.
Maka tidaklah mungkin mengingat Jumat Agung tanpa Paskah. Sebaliknya, tidak mungkin juga Paskah dirayakan tanpa Jumat Agung. Keduanya adalah dua sisi dari satu mata uang.
Ketika Juergen Moltmann, penulis buku Teologi Pengharapan (Theologie der Hoffnung) ditanya, mengapa ia menulis lagi buku teologi penderitaan Allah (Der gekreuzigte Gott) setelah menulis teologi pengharapan? Apakah dengan demikian ia melangkah mundur dari sorak-sorai nafiri Paskah ke ratapan-ratapan Jumat Agung? Ia menjawab, teologi salib adalah tidak lain dari sisi lain teologi pengharapan.
Demikianlah hendaknya, kita mengingat penderitaan kita sebagai bangsa, agar dengan demikian kita memperoleh kemenangan di dalam mengatasinya. Kita akan keluar dari berbagai krisis yang kita hadapi. Sebab Allah di dalam Yesus Kristus benar-benar telah mengosongkan diri-Nya, dan menjadi satu sejarah dengan kita.
Selamat mengenang kematian Yesus, dan selamat merayakan kemenangan Paskah.
Penulis adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia