Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Sarjana Baru, Pengangguran Baru Sun Feb 01, 2009 11:45 pm | |
| Sarjana Baru, Pengangguran Baru Setiap tahun, ribuan sarjana baru dihasilkan oleh PTN dan PTS di tanah air. Citizen reporter Meliana Bory adalah salah seorang di antaranya. Ia baru saja menamatkan pendidikan S1-nya di Jurusan Teknik Mesin Universitas Hasanuddin, Makassar. Ia tiba-tiba menyadari sulitnya mencari pekerjaan dan mengalami kegamangan dengan predikat baru yang disandangnya sebagai sarjana. (p!)
Tanggal 7 September lalu, gelar sarjana yang selama ini saya idam-idamkan akhirnya terwujud sudah. Membanggakan memang. Pasalnya, lima tahun perjuangan yang saya lalui, tentu saja dibarengi dengan pengalaman suka duka, akhirnya berbuah hasil. Belum lagi orangtua di rumah yang turut bangga sehingga mengadakan syukuran untuk merayakan keberhasilan ini. Saya adalah salah satu dari 1.697 sarjana yang diwisuda di hari itu. Dan dengan demikian saya pun menjadi salah satu di antara lulusan Unhas yang jumlahnya telah mencapai 102.751 orang.
Tapi kebanggan itu hanya berlangsung sekejap. Di tengah kebingungan mencari kerja dengan berbekal ijasah, seorang teman menelepon, mengajak saya melamar kerja di salah satu bank swasta di Makassar. ”Ada lowongan kerja di bank, mau ikut?” ajaknya. ”Tapi tingginya mesti 160 cm,” lanjutnya lagi. Mengingat tinggiku dan tingginya tidak sampai, saya pun bertanya, ”Jadi bagaimana?”
”Kasih masuk saja 160 cm, siapa tahu kita beruntung!” jawabnya ringan. Mendengar ucapannya, kami berdua pun sepakat untuk memanipulasi tinggi badan. Meski menurutku hal ini tidak benar, toh bila berkas kami lolos, kami berdua tetap akan diukur oleh pihak bank tersebut. ”Daripada menganggur, lebih baik ada kerjaan kirim lamaran, siapa tahu lolos,” ujarnya bercanda.
Ada cerita yang lebih menarik lagi, saat wisuda periode II lalu (Maret 2006). Teman yang saat itu akan diwisuda sempat berujar, “Kalau sampai umur 25 tahun ndak dapat kerja, saya mau minta dijodohkan saja ah, daripada menganggur!” katanya setengah bercanda.
Mendengar pernyataan ’daripada menganggur’ dari kedua teman tadi, tentu saja hal ini sangat memprihatinkan. Selain kedua teman itu, banyak teman lain yang berpikiran sama. Kebingungan mengisi hari-hari setelah wisuda diisi dengan mencari lamaran kerja di koran dan mengirimkan berkas lamaran. Inilah yang menjadi kesibukan khas sarjana baru seperti saya.
Pengangguran Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2001 saja terdapat 291.000 sarjana dalam negeri yang belum mendapatkan pekerjaan. Nah, apabila diasumsikan setiap tahun jumlahnya sama, dan dalam satu tahun hanya 30 persen yang terserap pasar kerja, maka dapat diperkirakan pada tahun 2005 lalu, terdapat 445.000 lebih tenaga kerja sarjana yang menganggur.
Dengan perhitungan kasar ini saja, tampaknya makin sulit bagi pemerintah mewujudkan janji menurunkan tingkat pengangguran. Terlebih bila dilihat secara keseluruhan berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional BPS sejak tahun 1996 hingga tahun 2003, angka pengangguran terbuka terus bertambah rata-rata 5,5 persen per tahun, sedangkan angkatan kerja baru bertambah rata-rata 1,9 juta per tahun. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2004-2006, rata- rata pertambahan angka pengangguran terbuka 9,5 persen per tahun. Di tengah angka statistik pengangguran ini, saya menyadari bahwa saya kini adalah salah satu di antaranya.
Menurut saya, banyaknya pengangguran intelek yang berpredikat sarjana, disebabkan oleh berbagai faktor. Kegagalan pendidikan universitas dalam menumbuhkan jiwa interprener bisa jadi salah satu pemicunya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kerjasama aktif antara universitas dan industri dalam proyek penelitian. Sehingga universitas tidak bisa menjawab kebutuhan kontemporer industri ketika menentukan topik penelitian mahasiswa. Kondisi ini tentu saja membuat sebagian besar lulusan sarjana berorientasi pada target lulus untuk bekerja pada perusahaan atau menjadi PNS, tanpa mau berpikir untuk menjadi seorang interprener atau menciptakan lapangan kerja baru.
Saya ingat pada tahun 2004, sewaktu saya dan dua orang teman yang lain berniat melakukan Kerja Praktek pada salah satu perusahaan BUMN di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Tanpa menentukan topik apa yang akan kami teliti terlebih dahulu, kami bertiga menghadap pimpinan pada bagian maintenance. Pikir kami saat itu, pihak perusahaan yang akan memberikan judul, ternyata pimpinan tersebut malah bertanya apa yang akan kami teliti.
Namun, kegagalan pendidikan saat di universitas tak bisa disalahkan sepenuhnya. Mungkin saja kontribusi kontrak produktif industri dalam penerimaan tenaga kerja baru juga salah satunya. Sebab, menurut pengamatan saya dari berita-berita di media massa bahwa sebagian besar industri atau perusahaan lebih berminat menerima tenaga kerja ”loncatan” dari perusahaan lain yang lebih maju atau yang sudah berpengalaman dibanding menerima tenaga kerja baru.
Di negara lain, saya mendengar bursa tenaga kerja diadakan bagi para mahasiswa yang akan selesai di tahun berikutnya. Di Jepang misalnya, universitas aktif mengundang perusahaan melakukan pencarian bakat di antara mahasiswa tingkat akhir, sehingga di saat para mahasiswa diwisuda, mereka memang tesenyum bangga telah menyelesaikan kuliah sekaligus tersenyum senang karena telah tahu hendak bekerja di mana.
Teringat kembali lima tahun lalu, saat mengetahui saya berhasil lulus di Jurusan Mesin Fakultas Teknik Unhas. Yang terbayang adalah masa perkuliahan yang langsung dilanjutkan dengan melamar ke perusahaan. Sejak SMU saya memang bercita-cita masuk Fakultas Teknik. Menjadi Insinyur Teknik adalah impian sejak kecil. Tapi setelah ijazah berada di tangan, setelah pesta wisuda yang meriah, saya tiba-tiba gamang dengan gelar sarjana dan merasa tidak siap terjun ke dunia kerja.
| |
|