Tidak mudah memilih se- orang pemimpin, apalagi pemimpin sebuah negara besar seperti Amerika Serikat (AS), demikian juga pemimpin sebuah negara dengan penduduk yang banyak dan multikultural seperti Indonesia. Dunia saat ini menantikan, siapakah yang akan menjadi pemimpin AS yang dalam waktu dekat akan dipilih rakyatnya.
Dalam pekerjaan kita sering kecewa dengan kejiwaan pemimpin kita, tidak heran seorang anak pernah bertanya kepada ayahnya yang juga seorang pengusaha besar dengan banyak karyawan yang dipimpinnya, anak tersebut bertanya: "Ayah, sepanjang engkau jadi pemimpin perusahaan, pernahkah menyadari bahwa ada keputusan yang diambil itu salah, dan pernahkah mengumumkan dan mengakui di hadapan anak buahmu untuk kesalahan itu"
Pertanyaan anak tersebut ter-lihat sepele saja, tetapi secara kejiwaan akan sangat dalam dan membekas di dalam hati seseorang, di mana sebagai seorang pemimpin, diberi pertanyaan apakah dia punya keberanian mengakui sudah berbuat salah, dan mau meminta maaf kepada anak buahnya.
Bagaimana jika kita di posi- si si "Ayah" sebagai orangtua, apakah kita mau dan mampu mengakui kesalahan, dan meminta maaf pada anak-anak kita, ketika kita sadar sudah mem-buat kesalahan. Begitu juga kepada orang yang kita anggap lebih 'rendah' seperti kepada se-orang pembantu rumah tangga.
Hanya orang yang berjiwa besar mampu berbuat ini, dan jika kita mau mempunyai jiwa yang sehat, maka jangan pernah takluk dengan ego diri yang selalu haus pengakuan sebagai 'terbaik' versi diri sendiri. Sering kita menutup luka hati dengan ekspresi kemarahan, dan kita sering ketakutan tidak bisa memenuhi harapan orang lain.
Seorang psikiater Belanda bernama Peter Goevaers, memberi ilusi untuk orang yang dalam ketakutan terhadap pemenuhan harapan orang lain itu, sebagai orang yang sedang dalam keadaan nyaris tenggelam dalam air. Nah, tinggal kita melihat orang di sekelilingnya dengan banyak reaksi.
Mitos atau Kerja KerasApakah semua orang bisa mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin? Apakah seorang pemimpin itu merupakan suatu jenjang prestasi, yang bisa didapat jika sebagai orang yang berpendidikan tertinggi di antara anak buahnya?
Apakah seorang pemimpin adalah seseorang yang merupakan pemilik modal terbesar di tempat dia memimpin? Tidakkah seorang pemimpin adalah orang yang penuh karisma, karena dia berpenampilan bagus?
Kita sering memandang sese- orang hanya berdasar mitos, kita merasa orang yang berpendidikan tinggi pasti lebih baik dari yang berpendidikan lebih rendah. Dan kita merasa orang yang berpenampilan 'keren' lebih baik daripada yang berpenampilan sederhana.
Ada pepatah yang bijaksana mengatakan 'Jangan nilai buku dari sampulnya' jangan menilai orang dari penampilannya. Banyak hal tak terduga di balik apa yang terlihat, karena bukan berarti semua yang berwarna kuning adalah emas.
Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, hukum dua fana selalu majemuk, ada pemimpin, tentu ada orang yang dipimpin. Ada nakhoda pasti juga ada kelasi.
Seseorang yang berjiwa pemimpin akan mampu menerima 'derita' dari masalah yang ditimbulkan dari kelompoknya, se- orang yang berjiwa pemimpin tidak akan lari untuk menyelamatkan dirinya sendiri kala ada masalah menimpa kelompoknya.
Seseorang yang mempunyai jiwa pemimpin, mempunyai tiga unsur yang menonjol dalam kejiwaannya yaitu, kebijaksanaan, keterbukaan, dan respek. Unsur kebijaksanaan berisi kepercayaan, kebenaran dan wawasan, bersedia dan kuat untuk bertindak dari kesadaran, bahwa kita sebagai pemimpin tidak bisa dan tahu semua hal, maka kita akan menghargai pikiran atau ide-ide yang diberikan anak buah kita.
Unsur respek berisi cinta, kebaikan dan memahami, yaitu bersedia mendengarkan, jiwa yang mempunyai respek akan berkekuatan untuk memberi kebaikan dan memahami sisi gelap seseorang.
Dengan respek tidak usah mengambil keputusan yang tidak menyenangkan dengan cara menjatuhkan kejiwaan orang lain, dan ini tidak dijadikan alasan dan bukan dipandang sebagai hambatan.
Unsur jiwa kebijaksanaan, keterbukaan dan respek jika terjadi saling menguatkan dalam jiwa seorang pemimpin, membuat sese- orang mampu menjadikan dirinya pemimpin yang dihargai dan diakui anggota timnya, bukan memberi pengakuan pada diri sendiri.
Jika kita mau menjadi pemimpin, kita harus terlebih dulu memimpin diri kita sendiri, suatu hal yang perlu dicermati, musuh terkuat adalah diri sendiri. Jika kita mempersiapkan diri sebagai pemimpin, sudah jelas kita harus mengenal diri kita dulu, bersatu dengan jiwa kita sebagai suatu kesatuan.
Banyak orang yang tidak mampu mengharmonisasikan jiwanya sendiri, hal ini tidak bisa didapat dengan mengandalkan pancaindera, Tetapi, melalui spiritual dari belajar berkenalan dengan 'soul' atau kata lain dari dalam jiwa kita sendiri. Socrates pun memberi nasihat, untuk sukses 'kenal diri anda'
Seseorang yang mampu mengendalikan emosinya, maka mampu menyeimbangkan logikanya, dan intuisi berkembang dalam kepekaan yang sempurna menghasilkan ide-ide cemerlang yang sangat dibutuhkan seorang pemimpin. Menurut Aristoteles, 'ide' datang bukan dari manusia sendiri, tetapi manusia mendapat ide dari proses inti membuka selubung jiwanya, banyak dari kita hidup dengan topeng, kita ingin dihargai, dipuji maka kita pasang topeng untuk itu, sedangkan jiwa kita semakin merana, karena frustrasi dengan kebohongan yang hanya diri sendiri yang tahu.
Menjadi seorang pemimpin kita harus mampu mentertawakan diri sendiri, tanpa mengurangi kepercayaan diri, kita mampu menegur dan memertanggungjawabkan apa yang salah, dan bukan hanya muncul bertepuk dada ketika hal baik terjadi.
Pengenalan dengan diri sendiri tanpa perantaraan dari pikiran, di mana orang membuat penilaian. Inspeksi situasi bisa berpengalaman murni dari objek itu sendiri, di mana hal ini tentu saja tidak berjalan secara otomatis. Tetapi, itu se-suatu yang orang harus kembangkan. Orang harus belajar murni umtuk bisa mengalaminya dan tidak langsung mau me-nilai.
Sering kali terjadi, kita biasanya tidak memberi intuisi mendapat tempat dalam diri kita, kita sering kali mengelak dengan mengatakan, itu sesuatu yang logis terjadi, padahal apakah manusia itu logis? Adakah teori yang absolut tentang kejiwaan manusia?
Kita terlalu banyak berfiksasi pada pikiran dan fungsi pengamatan pancaindera, padahal pengetahuan yang benar sudah ada di dalam kita. Hanya dengan lewat intuisi bisa melihat ke dalam akan perkembangan jiwa kita, dari intuisi menuntun sampai kita bisa melihat ke dalam untuk kita lebih mengenal dan harmonis dengan diri kita sendiri.
Jangan membuat lelah diri sendiri dengan melawan bisikan intuisi, sebab ada tiga hal yang tidak bisa dikembalikan, yaitu anak panah yang telanjur dilepaskan, perkataan yang terlanjur dikatakan, dan perbuatan yang terlanjur dibuat. Jangan mengelak keadaan dan menyesali diri dengan mengatakan, nasi sudah telanjur manjadi bubur!
ray_and_mel@hotmail.com