Kendaraan dari arah Bogor, yang didominasi kendaraan pribadi, terjebak kemacetan di pintu tol dalam kota Jakarta. Tingginya penggunaan kendaraan pribadi, antara lain dipicu buruknya pelayanan transportasi umum.
[JAKARTA] Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah Indonesia, telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Hal itu tentu berdampak pada pemborosan penggunaan bahan bakar minyak (BBM).
Berdasarkan data Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per tahun.
Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004).
Menurut Bambang, perhitungan itu baru mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 tri- liun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara sebesar Rp 2,8 triliun
"Angka kerugian itu akan terus meningkat secara gradual seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta," ujarnya, di Jakarta, Jumat (30/5).
Sementara itu, Ketua Yayasan Pelangi, Andi Rahma menuturkan, kerugian tersebut diakibatkan kemacetan lalu lintas sehubungan tidak dibatasinya jumlah kendaraan pribadi. Dengan demikian, volume kendaraan akan terus bertambah melampaui daya tampung jalan.
"Pada saat yang sama proyek pembangunan jalur khusus bus Transjakarta tak kunjung selesai, sehingga makin memperparah kondisi jalan," katanya.
Kacau BalauDi tempat terpisah, pakar transportasi dari Institut Studi Transportasi, Darmaningtyas menilai, sistem transportasi di Kota Jakarta masih kacau balau.
Hal itu terlihat dari jumlah angkutan umum, mobil pribadi, dan sepeda motor yang terus bertambah, sehingga memicu kemacetan parah di jalanan di seluruh pelosok Jakarta.
Hal itu tergambar dari populasi kendaraan roda empat di DKI Jakarta dalam tiga tahun terakhir yang terus meningkat secara signifikan. Selama periode 2005-2007, misalnya, tercatat lebih dari setengah juta unit mobil baru terjual di Jakarta.
Untuk itu, dia meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar memperbanyak angkutan umum massal, seperti busway, sehingga jumlah angkutan umum dan kendaraan pribadi dapat dikurangi. Kenaikan harga BBM saat ini dan ancaman krisis energi global, harus dijadikan momentum untuk membenahi sistem transportasi di Ibu- kota.
"Kesemerawutan yang terjadi pada saat ini adalah karena pemerintah membiarkan penambahan jumlah angkutan umum. Di sisi lain upaya pembatasan jumlah kendaraan pribadi tidak dilakukan," kata Darmaningtyas, Jumat (30/5).
Menurutnya, jika Pemprov DKI Jakarta memperbanyak angkutan umum massal yang nyaman, tertib, dan bersih, penambahan angkutan umum tidak perlu. Selain itu para pengendara kendaraan pribadi akan berpindah ke angkutan massal tersebut.
"Dengan harga BBM saat ini, potensi warga untuk beralih ke angkutan umum massal, seperti busway, akan bertambah. Tetapi sayang kalau sarana seperti itu jumlahnya masih terbatas," ujarnya.
Transportasi TerpaduTerkait hal tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo mengungkapkan, langkah yang dilakukan adalah dengan pembangunan transportasi makro yang mencakup tiga aspek, yakni pembangunan angkutan umum massal, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan jaringan jalan.
Pembangunan angkutan umum massal, diwujudkan melalui pembangunan MRT (mass rapid transit), yakni berupa subway (kereta ba-wah tanah), light rail transit (LRT) dalam bentuk monorel atau kereta layang, serta bus rapid transit yang menggunakan jalur khusus, seperti busway.
Untuk pembatasan lalu lintas, Fauzi menjelaskan, dilakukan dengan program 3 in 1, penerapan tarif penggunaan jalan (electronic road pricing/ERP), pembatasan parkir, dan fasilitas park and ride.
Sementara itu, untuk meningkatkan kapasitas jaringan jalan akan mencakup pelebaran jalan, pembangunan fly over serta under pass, pedestrianisasi, dan jalur nonkendaraan bermotor.
Menurutnya, beberapa program itu belum dijalankan seperti pembangunan subway dan monorel karena terken- dala dana.
"Selain itu, pembebasan lahan sulit dilakukan karena tidak setiap warga mendukung kebijakan tersebut," ujarnya, di Jakarta, Kamis (29/5). [DGT/RBW/L