Fundamental ekonomi Indonesia tidak kuat dibanding negara-negara Asia lainnya. Cadangan devisa, meskipun meningkat, itu akibat "hot money".
[JAKARTA] Ancaman resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS) berdampak sangat besar terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, ada kekhawatiran, gejolak kali ini bisa memicu terjadinya krisis ekonomi jilid II, seperti yang terjadi pada 1997, sehingga semua pihak harus waspada.
Namun, berbagai kalangan menilai, kali ini pemerintah lebih siap ketimbang 10 tahun lalu. Ditunjang dengan cadangan devisa yang cukup, kondisi perbankan yang membaik, serta sejumlah perbaikan struktural, diharapkan perekonomian Indonesia tidak jatuh terpuruk seperti satu dasawarsa lalu.
Menurut ekonom Econit, Rizal Ramli di Jakarta, Rabu (23/1), tanda-tanda Indonesia bisa terseret ke krisis ekonomi saat ini bisa dilihat dari beberapa indikator. Di antaranya peningkatan ekspor dan cadangan devisa hanya ditopang oleh kenaikan harga komoditas internasional, maraknya aliran dana jangka pendek (hot money), pertumbuhan semu sektor perbankan, dan kelebihan suplai properti komersial.
Selain itu, kerawanan kondisi ekonomi juga disebabkan laju pertumbuhan ekonomi kurang berkualitas. Sebab, pertumbuhan terutama pada sektor usaha yang padat modal, bukan usaha padat karya, seperti manufaktur.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi dihela oleh ekspor komoditas pertambangan, migas, dan agribisnis, bukan investasi baru.
Faktor lainnya, harga saham yang terus terjadi selama kurun 2005-2007, kini diempas oleh gejolak ekonomi di AS. Pemerintah memiliki catatan yang buruk saat berhadapan dengan gejolak harga kebutuhan pokok.
Berbagai kondisi tersebut, menurut Rizal, ditambah dengan dinamika politik domestik yang mulai tampak, jelas akan memengaruhi kebijakan dan kondisi perekonomian nasional.
Menurut mantan Menko Perekonomian tersebut, sejak 2007 terbentuk financial bubble (balon finansial) di Indonesia. Dana jangka pendek mengalir deras ke Indonesia, menyerbu aset finansial, seperti saham, obligasi, reksadana, dan Sertifikat Bank Indonesia. Tren ini membuat rupiah menguat dan kinerja perbankan juga membaik.
"Sektor finansial baik, tetapi kondisi ini tidak segera merembet ke sektor riil. Balon finansial ini mudah kempes kalau pemodal jangka pendek menarik dananya. Tanda-tanda itu sudah terlihat saat ambruknya harga saham," jelas Rizal.
Terkait hal itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan mengingatkan, fundamental perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap ber- bagai gejolak eksternal.
"Fundamental ekonomi Indonesia tidak kuat dibanding negara-negara Asia lainnya. Cadangan devisa, meskipun meningkat, itu akibat hot money. Nilai tukar kita juga anomali. Saat dolar melemah, rupiah lemah juga. Inflasi masih tinggi karena ada kenaikan komoditas pangan dan ekspek- tasi inflasi yang masih kuat," tuturnya.
Di samping itu, lanjutnya, dari sisi fiskal, pemerintah juga belum solid karena masih bergantung pada produksi minyak. Jika gagal, akan mengubah struktur penerimaan dan pengeluaran negara.
Kondisi Lebih BaikMeski demikian, menurut Fadhil untuk kembali mengalami resesi, tampaknya tidak mudah. "Dulu masalah ada pada nilai tukar, cadangan devisa, dan kondisi perbankan yang saat itu belum cukup sehat. Sekarang ini relatif tata kelola dan pengawasannya lebih baik. Cadangan devisa secara historis saat ini tertinggi karena tertolong harga komoditas ekspor yang naik. Pemerintahan juga secara umum lebih baik," ungkapnya.
Namun, dia mengingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati, terutama dalam menjaga fiskal. Kebijakan moneter pun harus tepat dan terukur, serta koordinasi antara fiskal dan moneter harus ditingkatkan.
Sementara itu, ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia (LPEM-UI), Ninasapti Triaswati berpendapat, telah terjadi perubahan ekonomi Indonesia, meskipun belum sebesar yang diharapkan.
Sepuluh tahun lalu, basis ekonomi Indonesia adalah kroni kapitalisme. Sebagian pengusaha tidak memiliki jiwa kewirausahaan, tetapi menjadi besar karena fasilitas. "Tak heran, pada 1998, terjadi seleksi alam besar-besaran pada para pengusaha, sehingga krisis ekonomi pun tak terelakkan," ujarnya. Kini, sudah tercipta peraturan dan perundang-undangan persaingan usaha. Namun implementasinya pun belum baik. Tantangan terbesar adalah penerapan dan pengawasannya masih lemah. [D-10/M-6]