anwarp
Jumlah posting : 122 Location : Jakarta Registration date : 16.01.08
| Subyek: Makna Imlek dan Hidup Harmoni Wed Feb 06, 2008 3:45 pm | |
| Makna Imlek dan Hidup HarmoniSP/RUht Semiono Sembahyang Menyambut Imlek - Warga Tionghoa menyalakan dupa dan mulai bersembahyang untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2559 di Wihara Dharma Bhakti, Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, Rabu (6/2). Puncak peringatan Tahun Baru Imlek dilakukan pada tengah malam menunggu pergantian tahun. Oleh Chairul Umam Tahun Baru Imlek 2559 yang jatuh pada tanggal 7 Februari 2008, adalah hari penting yang ditunggu-tunggu oleh warga Tionghoa. Segala persiapan untuk menyambutnya pun tentu sudah dimatangkan jauh-jauh hari. Rumah-rumah ibadah (kelenteng) mulai berbenah diri dengan hiasan lampion merah dan atribut-atribut lainnya.
Suka cita Imlek sepertinya tidak hanya dirasakan oleh warga Tionghoa saja, melainkan warga pribumi lainnya. Biasanya mereka akan membagi-bagikan kue atau uang (angpao) untuk masyarakat di lingkungannya. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Idul Fitri, dimana orang Muslim diperintahkan untuk memberikan sebagian hartanya (zakat) kepada masyarakat yang tidak mampu.
Pada konteks ini mungkin ada sedikit kemajuan jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru atau bahkan masa awal reformasi. Dan mungkin hingga saat ini masih ada perlakuan tidak adil pada mereka. Banyak fakta membuktikan warga Tionghoa sering menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan birokrasi (politik). Sebut saja tragedi Mei 1998 di Jakarta, atau kekerasan di Tasikmalaya yang memakan korban warga Tionghoa. Proses hukum dari kasus-kasus tersebut pun seakan dilupakan begitu saja oleh pemerintah.
Sebaliknya, warga Tionghoa di Indonesia tetap bertahan bahkan berusaha membangun bangsa yang "mendiskreditkan" mereka. Sebagai contoh adalah perjuangan atlet bulutangkis keturunan Tionghoa yang berhasil menjuarai turnamen internasional tidak menolak disebut sebagai atlet Indonesia. Tetapi masyarakat dan kalangan birokrasi seakan lupa bahwa saudaranya warga Tionghoa pernah menjadi pahlawan bangsa dan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Keberatan masyarakat Indonesia untuk menerima secara terbuka warga Tionghoa tentu bukan tanpa alasan. Keberatan itu lebih banyak dikarenakan kecemburuan sosial dan ekonomi.
Masyarakat melihat warga Tionghoa adalah kelompok yang standar hidupnya di atas masyarakat pribumi. Walaupun tidak selalu demikian kondisinya, karena banyak pula warga Tionghoa yang masih hidup dalam garis kemiskinan. Masyarakat pribumi juga menilai warga Tionghoa lebih dipercaya oleh lembaga keuangan (bank), dalam hal mendapatkan pinjaman modal usaha. Hal ini diperparah dengan sebagian warga Tionghoa yang tidak bertanggung jawab atas dana yang mereka dapatkan dari lembaga keuangan tersebut.
Solusi Formalitas
Setelah hampir genap satu dasawarsa reformasi berjalan di Indonesia, pemerintah ternyata belum bisa memberikan solusi yang memuaskan atas kondisi ini. Pemerintah hanya sebatas memberikan solusi formalitas belaka, seperti izin merayakan Imlek dan mengadakan acara-acara keagamaan. Sedangkan masalah-masalah hak asasi seperti memilih agama, KTP, akta keluarga belum menunjukkan tingkat kemajuan.
Pada era kepemimpinan Gus Dur, ada harapan di kalangan warga Tionghoa untuk dapat menjadi "warga Indonesia seutuhnya". Gus Dur mengizinkan warga Tionghoa menjalankan aktivitas budaya dan keagamaan.
Bahkan Gus Dur tidak segan-segan mengakui bahwa keluarganya masih keturunan Tionghoa. Namun kebijakan yang ditawarkan Gus Dur seakan jalan di tempat, karena tergesa-gesa oleh masa jabatannya yang terlalu singkat serta belum terbangunnya kesadaran masyarakat akan masalah ini.
Akibatnya warga Tionghoa hanya menganggap Gus Dur dan NU saja yang mau menerima mereka menjadi bagian utuh bangsa Indonesia, sedangkan di luar Gus Dur masih dalam kondisi yang sama.
Secara garis besar, apa yang dilakukan Gus Dur dapat dicari legitimasinya dalam agama, terutama agama Islam. Dan Indonesia selaku negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia memiliki peran besar dalam memberikan solusi terhadap masalah ini. Masyarakat Indonesia juga terkenal dengan sikap ramah dan toleransinya. Maka bukan hal mustahil jika memulainya dari ajaran agama dan umatnya.
Senada dengan itu, M Quraish Shihab mengatakan bahwa Islam tidak hanya datang untuk mengukuhkan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama lain dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk agama lain. Sebuah contoh positif tentang pengakuan terhadap kebudayaan orang lain bisa diambil dari Nabi Muhammad. Ada hadits Nabi yang sangat populer, "Carilah ilmu walaupun hingga ke negeri Tiongkok". Hadits Nabi ini tentu bukan tanpa alasan dan makna. Seperti diketahui, salah satu aktivitas Nabi Muhammad adalah berdagang. Dan keahlian bangsa Tiongkok yang paling terkenal adalah berdagang. Dalam konteks perdagangan inilah kemudian Nabi berhubungan dengan bangsa Tiongkok, serta mengambil hal positif dari strategi berdagang mereka.
Bisa jadi strategi berdagang bangsa Tiongkok yang menyebabkan Nabi mengeluarkan hadits tersebut.
Masyarakat Muslim Indonesia tentunya bisa berdampingan dengan warga Tionghoa. Sebaliknya warga Tionghoa semestinya juga lebih dapat membuka diri dengan warga pribumi, agar arus informasi mengenai kedua kelompok tidak sepenggal-penggal. Informasi yang utuh akan membantu menghindari kesalahan persepsi dan konflik sosial. Di samping itu, kebijakan pemerintah yang masih mendiskreditkan warga Tionghoa sudah saatnya dihapus untuk menjaga hak-hak asasi warga negara. Inilah momentum untuk merayakan Imlek agar suasana kehidupan bermasyarakat terjalin secara harmonis.
Penulis adalah Peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU
Last modified: 6/2/08 | |
|