Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Warga DKI Resah Tue Feb 05, 2008 4:14 pm | |
| Wapres Paksakan Perpres 36/2005Warga DKI Resah[JAKARTA] Warga resah dengan rencana penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pembebasan Lahan untuk Publik, dalam hal ini di wilayah yang terkena proyek banjir. Bila Perpres itu diberlakukan, warga kehilangan hak tawar terhadap lahan yang akan digusur.
Warga, suka atau tidak, harus menerima tawaran harga yang diputuskan pemerintah. Menurut warga Kampung Melayu, Jakarta, Kodir (54), penerapan Perpres itu malah akan menyengsarakan warga.
"Kalau harganya tidak cocok, warga akan kesulitan dapat tempat tinggal baru. Kalau demikian, potensi menjadi pemukim liar semakin terbuka. Nantinya malah akan memunculkan masalah sosial baru, misalnya, ketidaktertiban dan pengangguran. Belum lagi potongan macam-macam yang dilakukan oknum tertentu. Jatah kami semakin sedikit saja," ujar dia.
Hal itu disampaikan, berkaitan dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan pemerintah bisa menerapkan Perpres itu jika Pemprov DKI Jakarta kesulitan dalam pembebasan lahan untuk pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT) dan sejumlah daerah lainnya yang akan dibebaskan.
"Kalau memang ada yang tidak mau dan sulit diajak kerja sama, kita terapkan Perpres Nomor 36/2005," tegas Kalla saat meninjau banjir di Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (3/2).
Menurut dia, Perpres tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum itu bisa digunakan untuk membebaskan lahan pembangunan proyek BKT yang bisa meminimalisir banjir yang selama ini menjadi beban bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Kodir mengatakan, bagi warga bantaran Ciliwung, nilai rumah bukan cuma tanah dan bangunan, tapi juga sumber nafkah. "Rata-rata warga bantaran Ciliwung bekerja di sektor informal, misalnya, berjualan mi ayam atau ojek sepeda motor. Selama bertahun-tahun, warga bekerja di sekitar rumah. Kalau dipindah, warga akan kehilangan pelanggan. Padahal di tempat baru, belum tentu bisa pelanggan dan penghasilan seperti di tempat lama," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan warga Duren Sawit, Jakarta, Anggraeni (32). Menurutnya penerapan Perpres akan memunculkan lebih banyak masalah baru. Masalah banjir mungkin dapat selesai, tetapi nantinya muncul semakin banyak masalah baru, misalnya kemiskinan dan kriminalitas.
Diungkapkan, usaha Anggraeni mengalami kemunduran akibat penggusuran untuk proyek KBT. "Waktu saya tinggal di pinggir jalan, dagangan saya laris. Tapi ketika digusur tahun 2005 lalu, saya pindah rumah sekitar 500 meter jauhnya dari jalan. Sejak pindah, pembeli mulai sepi, karena di tempat baru ada pedagang lain seperti saya. Tapi mau bagaimana lagi? Walaupun hasil sedikit karena persaingan usaha, namun saya kan tetap harus berjualan," papar dia.
Yang lebih parah, tambahnya, uang ganti rugi tidak cukup untuk beli rumah. Makanya sekarang dia mengontrak. Ditambahkan, nilai ganti rugi yang diterimanya, tidak sesuai dengan kesepakatan harga.
"Saya cuma terima sekitar Rp 60 juta. Padahal, kesepakatan waktu itu, harga rumah saya mencapai Rp 70 juta. Penjelasan yang saya terima, potongan itu untuk biaya administrasi. Saya menurut saja. Kalau protes, nanti malah semakin susah," ujarnya.
Tokoh Fiktif
Sementara itu, Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, mengatakan, warga tidak pernah mempersulit proses pembebasan tanah. Namun ada oknum yang "bermain" sehingga terkesan, warga tidak mendukung pembangunan.
"Pembebasan lahan untuk KBT, bukan dihambat warga. Namun ada oknum yang menciptakan sengketa bayangan untuk mengambil keuntungan dari nilai ganti rugi warga. Kalau pemerintah berani, bongkar dulu perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK), Pantai Muara, dan Apartemen Teluk Intan, untuk dikembalikan fungsinya sebagai daerah resapan air dan membebaskan tol bandara dari banjir," ujar dia.
Dikatakan, sengketa bayangan adalah, munculnya tokoh fiktif yang juga mengaku memiliki lahan warga. Demikian muncul sengketa antara warga dan tokoh fiktif tersebut. Warga yang takut tidak mendapat ganti rugi, kemudian memilih mengalah dan menerima keputusan ganti rugi seadanya. Menurut Tigor, tokoh fiktif itu dimunculkan oleh panitia pembebasan tanah. "Warga banyak yang tidak mengerti hukum. Mereka tidak mau mengambil risiko kehilangan ganti rugi karena takut kalah bersengketa dengan tokoh fiktif tersebut. Pemerintah seharusnya menyelidiki sengketa bayangan ini," ujarnya.
Ditambahkan, Pemerintah jangan menggunakan Perpres dan mengorbankan rakyat untuk menutupi kegagalannya menanggulangi banjir Jakarta. Penggusuran tanpa kompensasi layak cuma akan menyengsarakan lebih banyak orang. [ATW/Y-4]
-------------------------------------------------------------------------------- | |
|