Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Sang Inspirator Sun Nov 09, 2008 9:35 am | |
| Sang Inspirator Barack Obama telah menorehkan jejak gemilang pada 4 November 2008. Kemenangannya dalam pemilu melawan kandidat dari Partai Republik, John McCain, menjadikan Obama sebagai presiden kulit hitam pertama dalam 200 tahun sejarah Amerika Serikat (AS).
Obama dalam pidato kemenangannya di Grant Park, Chicago, Rabu (5/11) mengatakan, "Telah terlalu panjang kita menanti, tetapi pada malam ini...perubahan telah datang," tutur dini hari. Ucapan Obama disambut gemuruh tepuk tangan 200.000 orang yang meneriakkan, "Yes, We Can."
Kemenangan ini pun akan mengantar Obama, Michelle, dan kedua putri mereka, Sasha dan Malia, untuk menapaki tangga-tangga Gedung Putih pada 20 Januari 2009, sebagai sebuah keluarga Afrika-Amerika pertama yang menghuni kediaman resmi orang nomor satu AS. Inilah wujud sebuah impian yang diperjuangkan lama, termasuk oleh Martin Luther King.
Obama bagai roket yang menembus langit politik Washington. Kehadirannya di panggung politik AS terhitung cepat. Pamornya melejit pesat. Belasan tahun lalu, Obama masih bekerja sebagai pengacara hak sipil dan mengajar di Universitas Chicago.
Karier politik Obama dimulai ketika ia terpilih sebagai Senator Negara Bagian Illinois. Sebagai senator, ia banyak mendatangi warga untuk mendengar masukan dan keluhan dari mereka. "Dia datang dan mendengarkan kami, bukan kami yang mendengarkan dia," kata Gordon Stine, petani kedelai dan jagung, di wilayah Illinois. Tak heran kalau Obama dikenal dan dipuji oleh kalangan akar rumput. Posisi senator Illinois dipegangnya selama dua periode 1996-2004.
Selanjutnya, Obama maju ke pemilihan Senat AS pada 2004 dan menang. Ia pun menjadi penghuni Capitol Hill, mewakili Illinois. Nama Obama mencuat ke publik ketika dipilih untuk menyampaikan pidato kunci pada Konvensi Nasional Demokrat, Juli 2004.
Sejak itu, ia dilirik dan dijagokan sebagai calon pemimpin masa depan. Baru setelah Obama memutuskan untuk bertarung dalam perebutan kursi kepresidenan di Gedung Putih, nama, wajah, dan kisah hidupnya kian mencuat di media massa.
Diragukan
Dengan pengalaman politik yang dianggap masih hijau, keberanian Obama untuk maju sebagai capres mengejutkan banyak pihak. Kemampuannya disangsikan. Apalagi, warna kulit Obama, menjadi pertaruhan berat. Kendati AS menggembar-gemborkan demokrasi dan kesamaan hak, tidak mudah bagi orang kulit berwarna untuk menembus dominasi kulit putih dalam kepemimpinan nasional AS.
Tekadnya untuk maju jadi bahan gosip para politisi di Washington. Ia sempat diremehkan. Tema yang diusung "perubahan" dan "harapan" mendapat kritikan keras karena dianggap hanya retorika bualan dan ambisi tanpa isi. Bahkan, tokoh-tokoh kulit hitam ikut mengecilkannya.
Obama dianggap gila dan cari sensasi. Ia tidak mungkin menang menghadapi politisi-politisi kawakan. Lawan satu partainya saja adalah Hillary Rodham Clinton, sudah punya nama sebagai mantan ibu negara dan Senator New York. Belum lagi, menghadapi calon-calon Partai Republik yang lihai, tangguh dan sarat pengalaman. Dibandingkan dengan mereka, Obama masih bau kencur, tidak ada apa-apanya. "Ibarat mengejar pelangi," itu komentar mereka.
Pesimisme serupa dialami tim Obama. Presentasi tentang pemetaan awal wilayah-wilayah mana yang akan direbut Demokrat oleh manajer kampanye Obama, David Plouffe, ditanggapi skeptis oleh pers dan donatur. Majalah Time edisi Januari 2007 ikut meragukan Obama dan timnya.
Hari H, Selasa 4 November 2008, menjadi bukti ambisi Obama bukan mimpi klise. Pesan perubahan dan harapan yang digembar-gemborkannya melecut hati jutaan warga AS. Mereka datang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara dan mendukungnya.
Obama yang dianggap tidak berpengalaman dan naif, terbukti merupakan pejuang cemerlang yang membawa hasil. Ia tampil memukau pada tiga debat capres. Dalam kampanyenya, Obama mencari persamaan bukan perbedaan. Hasilnya bukan hanya keturunan Afrika-Amerika yang mendukungnya, tapi juga kalangan hispanik, karibia, keturunan asia, hingga kulit putih.
Basis-basis Re- publik jatuh ke tangan Obama. Suaranya mencapai 52 persen. Ia meraih suara elektoral jauh di atas McCain.
Kini terbukti, Obama mampu menembus sinisme-sinisme yang tak berdasar. Obama bukan maju dengan modal dengkul atau keberanian saja. Dari segi apa pun, Obama punya kata superlatif. Ia cerdas, berkomitmen teguh dengan perencanaan matang.
Obama tidak mau terperangkap menjatuhkan orang sebagaimana dilakukan McCain-Sarah Palin. Dalam sebuah debat televisi, moderator meminta dia merespons serangan kampanye hitam kubu Republik, tetapi Obama memilih memuji Palin yang dinamis.
Mengapa Menang?
Ada berbagai faktor yang menyebabkan Obama menang. Salah satunya, kri- sis ekonomi menjadi faktor yang "menguntungkan" bagi Obama. Kemelut finansial ini membuat pemilih tidak lagi mempercayai program ekonomi yang diusung McCain.
Publik melihat kehancuran ekonomi banyak disebabkan oleh Bush yang ngawur. Ia lebih mementingkan perang. Selama delapan tahun, Bush melancarkan dua perang di Afghanistan dan Irak. Perang yang tak jelas ini menguras sedikitnya US$ 600 miliar, ditambah 4.000 nyawa tentara dan personel nonmiliter AS melayang sia-sia, kematian puluhan ribu rakyat Irak dan 4,5 juta warga Irak harus mengungsi.
Di zaman Bush, semakin banyak orang jatuh miskin. Saat ini, ada lima juta orang yang tak mampu hidup layak. Di dalam negeri terpuruk, citra AS di dunia pun terpojok. Karena itu, pemilih mengharapkan pemimpin yang bisa membawa perubahan. Mantra "perubahan" diusung oleh Obama.
Selain faktor eksternal, Obama memiliki tim kampanye yang rapi, strategis dan disiplin, yang menjadi kunci Demokrat mampu menjangkau wilayah-wilayah Republik dan mengumpulkan uang dalam jumlah fantastis.
Obama bukan keluarga konglomerat atau industrialis yang berlimpah uang untuk membiayai kampanye. Namun, timnya menyusun perencanaan yang tangkas dan cermat.
Kubu Obama menolak dana federal untuk membiayai kampanye, tetapi memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk menghimpun dana. Melalui internet terkumpul dana jutaan dolar yang berasal dari donasi kecil-kecilan hingga penyumbang korporasi.
Kepiawaian memanfaatkan setiap peluang diakui oleh kubu McCain yang kalah jauh dari segi pengorganisasian, manajemen kampanye dan dana. Penasihat senior McCain, Mark Salter, mengakui mesin politik Republik tak mampu menumbuhkan benih-benih keraguan publik terhadap Obama.
"Obama punya karisma. Dia pun mampu menggalang dana melebihi siapa pun," tukas Salter.
Setelah menang, Obama tidak lantas bersantai-santai. Ia bekerja keras menyiapkan tim yang akan mendampinginya. Ia menyadari tugas yang berat tidak bisa diselesaikan sendiri. Obama meminta rakyat memahaminya bahwa akan dibutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikan setumpuk persoalan. [SP/Yohanna Ririhena] | |
|