Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Bersatu Atasi Kemiskinan di KTI Fri Mar 07, 2008 11:38 am | |
| Bersatu Atasi Kemiskinan di KTI
Pengantar Era otonomi daerah yang sedang bergulir di Indonesia dewasa ini secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat, baik secara nasional maupun lokal. Seperti diketahui bahwa kawasan timur Indonesia (KTI) merupakan wilayah yang paling tertinggal, wilayah yang boleh dikatakan jauh dari perhatian pemerintah pusat.
Untuk memperjuangkannya, 12 provinsi di KTI mencoba melakukan terobosan dalam percepatan pembangunan lewat pertemuan semiloka kepala perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) di Ambon. Apakah perjuangan kepala Bappeda dari 12 provinsi di KTI ini dapat menjawab ketertinggalan pembangunan selama ini? Koresponden SP di Ambon, Vonny Litamahuputty menuliskannya dalam sorotan kali ini.
SP/Vonny Litamahuputty
Perahu layar tradisional melayani penumpang umum antara Desa Poka-Galala setiap hari. Setiap orang dipungut bayaran Rp 1.000, cukup menghidupi para penarik perahu tradisional tersebut.
Perjuangan daerah-daerah di kawasan timur Indonesia (KTI) dalam mewujudkan ketertinggalan pembangunan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Beberapa provinsi di KTI melaksanakan semiloka untuk menetapkan pokok-pokok pikiran sebagai kerangka kerja bersama pada 27 -28 Februari 2008 di Ambon.
Fokus perencanaan daerah lebih pada sinkronisasi perencanaan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional lewat cara memfasilitasi RPJM Nasional sehingga konsisten digunakan sebagai acuan dasar dalam penyusunan RPJM Daerah.
Penyusunan RPJM Daerah dilakukan dengan sasaran terukur guna mendukung agenda pembangunan nasional. Sinkronisasi perencanaan daerah juga mendorong RPJMD melalui Peraturan Gubernur. Selanjutnya agar revisi Undang-Undang (UU) terkait secara jelas menetapkan status RPJMD sebagai dokumen perencanaan daerah.
Kondisi ini telah memberikan kesadaran baru bagi kalangan pemerintah daerah, khususnya di KTI. Mereka sadar, tidak bisa lagi membiarkan gelombang otonomi mengalir begitu saja tanpa upaya untuk mengarahkan dan mengisinya dengan berbagai tindakan nyata yang lebih proaktif.
Itu dilakukan di antaranya dengan wujud harus mampu menciptakan suatu sistem yang kondusif bagi terlaksananya proses pembangunan daerah sejak dari langkah awal perencanaan hingga proses evaluasinya. Dengan begitu, apa yang diharapkan dari setiap program pembangunan di daerah KTI dapat terwujud. Akhirnya, masyarakat akan lebih merasa memiliki dan berkewajiban mendorong terlaksananya proses pembangunan di daerah Timur Indonesia.
Sebagai kerangka kerja sama daerah-daerah di KTI dukungan bagi pengembangan triple track development strategy yaitu dengan cara mendukung pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo Winarni Monoarfa mengatakan, daerah-daerah di KTI tidak bisa berjalan sendiri-sendiri sekarang. Saatnya daerah-daerah se-KTI melalui wilayah-wilayahnya bekerja sama, berkolaborasi dengan pulau-pulau komparatif masing-masing sehingga dapat bersama-sama bergandengan tangan membangun KTI.
"Banyak wilayah tertinggal itu sebagian besar ada di KTI, karena itu Kementerian Daerah Tertinggal punya keinginan yang kuat untuk mewujudkan wilayah-wilayah kelautan.
Namun, semuanya harus dilandasi oleh data base di KTI," ujar Winarni, di Ambon, Kamis (28/2).
Salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah penyediaan data base yang diinginkan. Bagaimana misalnya, indeks pembangunan manusia masing-masing provinsi di KTI.
Penguatan Anggaran
Bagaimana penguatan anggaran publiknya. Apakah anggaran yang ada ini sebagian besar untuk masyarakat atau sebaliknya untuk aparatur, ini akan dikaji bersama.
Mengenai fokus pembangunan setiap provinsi di KTI ini, tiap provinsi di KTI mempunyai prioritas. Dengan keragaman, tentunya prioritasnya akan berbeda-beda, tetapi acuan yang digunakan adalah RPJM Nasional 15 tahun dan RPJP Nasional 20 tahun.
"Ini memang merupakan agenda penting sehingga rekomendasi kita yang pertama yaitu memfasilitasi upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) perencana di KTI dan sistim informasi perencanaan pembangunan berupa sinkronisasi perencanaan tingkat nasional tetap beracuan pada pembangunan nasional 5 tahun RPJM dan RPJP nasional.
"Kalau ini kita lakukan dengan prioritas pembangunan dengan target-target yang terukur, saya kira memang dari forum KTI ini kita menggagas. Di Papua nanti kita akan menyusun agenda-agenda yang bisa kita ukur," ujarnya.
Harus ada inovasi dari daerah dan harus ada program-program terobosan inovatif dari daerah masing-masing. Dengan begitu, donor-donor bisa masuk. Contohnya, Provinsi Gorontalo mendapat program intensif dari USAID, kemudian dari UNDP reformasi birokrasi dan menyusun dokumen-dokumen perencanaan sesuai yang dibutuhkan, sehingga bisa dengan mudah donor masuk.
"Virus yang baik ini bisa kita pindahkan sehingga pemerataan pembangunan di KTI ini akan bisa berlangsung. Kalau memang kita melihat hirarki dari dokumen perencanaan, RPJM Nasional harus dijadikan acuan dari daerah, kita melihat dalam proses perencanaan dan regulasi yang ada pembangunan kita adalah NKRI sehingga founding fathers kita sudah sepakat bahwa Indonesia adalah NKRI, kita maju bersama-sama mendukung pembangunan nasional.
Angka kemiskinan secara nasional adalah angka rata-rata dari angka kemiskinan di daerah. Oleh karena itu, daerah-daerah ini bersama-sama maju untuk menyukseskan rencana pembangunan nasional selama 5 tahun maupun RPJM 20 tahun. Jadi, kerangka berpikirnya demikian. Pada forum pertama ini menguatkan lagi, bahwa daerah-daerah mengacu pada RPJM nasional dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga dari situ. Jadi, APBN diberikan bagi daerah yang mampu untuk mencapai target nasional.
"Di Provinsi Gorontalo kita fokus rencana pembangunannya hanya ada tiga, yakni pengembangan SDM, pertanian jagung, dan menyinergikan keuangan daerah. Itu difasilitasi oleh pendonor, menyusun publik analisis atau pengeluaran keuangan masyarakat, APBD kita umumkan di koran. Setiap hari Minggu, Gubernur menyediakan waktu di RRI setiap jam 10 pagi seluruh masyarakat dilibatkan untuk memberikan tanggapan, masukan bahkan kritikan-kritikan dari masyarakat. Ini juga yang akan kita bangun di KTI, bahwa kita melibatkan partisipasi masyarakat," ujarnya.
Kepala Bappeda Sulawesi Utara (Sulut) Alex J Wowor menyebutkan, memang mereka tidak bisa menghindari intrik-intrik politik dalam mengelola anggaran di daerah. Membina daya saing dari daerah masing-masing adalah keberpihakan kepada wilayah yang miskin.
"Wilayah miskin itu identik dengan wilayah perbatasan dan wilayah kepulauan. Konsep-konsep pembangunan provinsi kepulauan maupun inisiatif nasional yang diusulkan pemda. Provinsi kami di Sulut juga tidak menutup mata terhadap kemiskinan secara nasional, tergantung dari sudut mana kita melihat. KTI umumnya luas, sedangkan jumlah penduduknya kecil, maka yang diuntungkan selalu Jawa," katanya.
Sinkronisasi
Staf Bappeda Provinsi Papua, Safrudin mengatakan, kenapa sinkronisasi ini diperlukan, pihaknya melihat bahwa besaran perencanaan yang dilakukan oleh daerah yang ada di KTI ini tidak sebanding. Perbedaannya sangat signifikan dengan besaran yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini perlu penyesuaian-penyesuaian kembali. Di dalam proses perencanaan, pelaksanaan, banyak regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tentunya oleh dana ini perlu disikapi dan perlu dilihat bersama.
Sayangnya sinyalemen yang dilontarkan Kepala Bappeda Provinsi Papua belumlah menjadi perhatian sepenuhnya Bappeda Provinsi Maluku yang justru berada pada posisi daerah termiskin di Indonesia setelah Provinsi Papua.
Sekretaris Bappeda Provinsi Maluku Farida Salampessy justru hanya menyikapi masalah pusat informasi yang ironinya Bappeda Maluku tidak memiliki data base sama sekali. Lewat semiloka forum KTI ini, dari 7 provinsi kepulauan 5 di antaranya masuk dalam forum KTI. Bappeda Maluku yang menjadi bagian dari yang melahirkan rekomendasi kepada pemerintah pusat ini hanya mengusulkan untuk adanya pusat informasi masing-masing unggulan dari sektor itu.
"Kami hanya berharap dukungan pembangunan kepada masyarakat miskin dengan memanfaatkan dokumen strategi nasional penanggulangan kemiskinan sebagai acuan dasar," katanya.
Setelah melalui sejumlah pembicaraan pada semiloka Kepala Bappeda se-KTI tersebut juga diharapkan agar daerah-daerah di KTI turut menyukseskan program nasional dan mendorong pendataan kemiskinan yang lebih tepat sasaran dan sesuai kebutuhan serta sistem pengelolaan informasinya guna mendukung proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi program.
Forum KTI ini telah melahirkan rekomendasi utama lewat semiloka yang dibuat berdasarkan pokok-pokok pikiran yang menjadi kerangka kerja bersama tersebut. Lima rekomendasi tersebut dibuat secara konkret, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam rentang waktu satu tahun.
Pertama, memfasilitasi upaya peningkatan kapasitas SDM perencana di KTI dan sistem informasi perencanaan pembangunan. Kedua, memfasilitasi pertemuan antar-Kepala Bappeda se-KTI setiap enam bulan untuk memperkuat sinkronisasi dan sinergi perencanaan wilayah dalam mengisi agenda pembangunan nasional.
Ketiga, mendorong identifikasi dan diseminasi yang berpihak kepada masyarakat miskin, terutama untuk peningkatan dalam mendukung pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin. Peningkatan pendidikan dan kesehatan serta memastikan program nasional pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan konteks lokal.
Mendukung pembangunan yang menciptakan lapangan kerja dengan memfasilitasi dialog multipihak untuk mendukung pengembangan strategi terpadu penanggulangan pengangguran yang mendorong pertumbuhan yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja, mendukung pembangunan yang mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan memperkuat upaya peningkatan kapasitas melalui dialog aktif antara pemerintah dan masyarakat memanfaatkan media komunikasi serta media cetak dan elektronik daerah dan nasional lainnya.
Keempat, mendorong mitra pembangunan internasional untuk mendukung pelatihan penyusunan, khusus KTI guna meningkatkan investasi di tingkat lokal. Kelima, memfasilitasi keterlibatan instansi nasional dalam dialog pembangunan KTI dan mengembangkan peluang pertukaran penempatan kerja.
Sebanyak 12 provinsi yang ikut merumuskan rekomendasi terdiri dari Kepala Bappeda Gorontalo sebagai pemrakarsa semiloka Kepala Bappeda se-KTI, Kepala Bappeda Nusa Tenggara Timur (NTT) Yulius Subianto Riwu, Kepala Bappeda Sulawesi Barat (Sulbar) Syarif Burhanuddin, Kepala Bappeda Sulawesi Selatan (Sulsel) HS Roeslan, Sekretaris Bappeda Nusa Tenggara Barat (NTB) H Lalu Gita Ariadi, Kepala Bidang Data Bappeda Sulawesi Tengah (Sulteng) Faridah Lamarauna, Kepala Sub Bidang Kerja Sama Bappeda Sulawesi Tengah (Sulteng), Staf Bappeda Provinsi Papua Syafrudin, dan dua Staf Bappeda Maluku Guntur Napitupulu serta Jalaludin.
Semiloka ini sudah berakhir. Daerah-daerah di KTI menyadari sungguh ketertinggalan akibat tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Namun, dari kesadaran itu pula muncul motivasi yang kuat bahwa memang mereka membutuhkan kerja sama antarprovinsi se-KTI agar berbagai ketertinggalan tersebut dapat terjawab.
Pelaksanaan proses pembangunan bangsa dan negara hendaknya dimulai dari lingkungan pembangunan daerah yang didasari oleh nilai-nilai budaya masyarakat, khususnya kawasan timur yang tertinggal, dalam konteks masyarakat negara. Jangan dipaksakan untuk meraih suatu keberhasilan sekaligus, tanpa mempertimbangkan kemampuan dan potensi serta kondisi lingkungan yang dimiliki.
Kualitas di sini tidak sekadar kemampuan dan keahlian dari segi konseptual maupun praktis saja, melainkan juga kualitas dalam integritas, moral, dan komitmen terlebih lagi kualitas dari pemimpinnya. Konsistensi terhadap hasil-hasil perencanaan yang sudah disepakati harus dijaga dan dipelihara oleh semua pihak. * | |
|