Dekan Akademik Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STTJ), Martin L Sinaga sebagai moderator, Direktur Masyarakat Dialog antar Agama Trisno Sutanto, peneliti pada Moderat Muslim Society Hasibullah Sastrawi dan Bambang Subandrijo, alumni STTJ, berdiskusi dengan tema "Yesus Kristus: Titik Temu dan Tengkar Antara Islam dan Kristen" di kampus STT Jakarta, Sabtu (23/2).
Berbagai wacana sering dimunculkan untuk mencapai titik temu antara Islam dan Kristen. Salah satunya digagas oleh bagian akademik Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STTJ) melalui diskusi publik bertema "Yesus Kristus: Titik Temu dan Tengkar antara Islam dan Kristen", Sabtu (23/2) lalu. Diskusi yang menampilkan tiga pembicara, yakni Bambang Subandrijo Hasibullah Satrawi, dan Trisno S Sutanto, mengupas disertasi Bambang Subandrijo berjudul "Eikon and Ayat" Point of Encounter between Indonesian Christian and Muslim Perspective on Jesus.
Dalam disertasinya, Bambang menyinggung tentang kemajemukan bangsa Indonesia. Di satu pihak, keanekaragaman merupakan karunia dan rahmat. Sementara di sisi lain, terdapat perbedaan di dalamnya, termasuk dalam hal kepercayaan. "Perbedaan-perbedaan yang ada sering menyebabkan ketegangan hubungan antarkomunitas agamawi. Salah satu pokok doktrinal yang sering menimbulkan perdebatan di antara umat Islam dan Kristen adalah tentang Allah dan Kristologi," kata Bambang.
Menurut Martin Lukita Sinaga, Dekan bagian akademik STTJ, harus ada keberanian menemukan titik temu. "Dimensi-dimensi yang bersifat sensitif, seperti Yesus dan Isa bisa menjadi titik temu. Jadi, ada fondasi mendalam untuk bertemu," katanya, seusai diskusi di kampus STTJ itu. Menurut Trisno S Sutanto, diskusi itu merupakan terobosan yang memikat. Sedangkan bagi Hasibullah, peneliti pada Moderat Muslim Society (MMS) Jakarta, mencari titik temu antara Islam dan Kristen merupakan terobosan pemikiran untuk mengukuhkan "kesatuan" teologi Kristen dan Islam. "Kesatuan itu hanya bisa terwujud dengan cara memperbanyak titik temu antarkeduanya," katanya.
Menurut Bambang, penerapan paling awal yang dapat dilakukan sebagai bentuk konkret pemersatu adalah dengan memulai sesuatu tanpa berprasangka. Sikap itu dinilai sebagai kerangka yang dapat menolong. "Perbedaan-perbedaan yang ada sering menyebabkan ketegangan hubungan antarkomunitas agamawi. Salah satu pokok doktrinal yang sering menimbulkan perdebatan di antara umat Islam dan Kristen adalah tentang Allah dan Kristologi," katanya.
Bambang menguraikan, ada beberapa hal membuat kedua agama sulit untuk saling memahami. Asalnya dari beberapa faktor, seperti sifat misionaris, eksklusivisme teologis masing-masing, dan adanya kepentingan politis pribadi atau kelompok tertentu. Keberadaan Yesus dapat dijadikan sebagai salah satu titik temu antara Islam dan Kristen. Hal itu menjadi pembahasan dalam rangka mencari pemahaman baru terhadap diri Yesus, serta implisit juga tentang Allah.
Pembahasan Bambang ini dilakukan berdasarkan analisis eksegetis atas dua perikop Kitab Suci, yaitu himne Kristus dalam Alkitab dan Al-Qur'an melalui surat Kolose 1:15-20 dan Surah Maryam 19:16-40. Dari dua perikop tersebut didapat pencerminan pemahaman tentang Yesus secara implisit.
Baik di dalam Alkitab, maupun Al-Quran, keduanya menghormati Yesus. Adanya pengakuan keutamaan Yesus di antara para nabi dan utusan Allah terlihat dalam beberapa gelar. Gelar itu tidak dikenakan pada nabi-nabi lain, seperti eikon (gambar, tanda) atau ayat (tanda dari) Allah, 'firman' atau 'kalam' (dari) Allah, 'Roh' (yang berasal dari) Allah, dan 'Mesias'. Di Al-Qur'an sendiri, istilah ayat memiliki empat konteks pemaknaan, yaitu sebagai teks, makhluk ciptaan Tuhan, mujizat yang bersifat supranatural, dan misteri ilahi. Hal itu menunjukkan pertanda bagi kebenaran dan keagungan Tuhan.
"Dari situlah konsep tentang ayat dalam Al-Quran dan eikon dalam Alkitab bertemu. Eikon adalah gambar bagi Tuhan yang tak tergambar, sedangkan ayat merupakan tanda bagi Tuhan yang ada di sana," tegas Hasibullah. Dari gelar-gelar tersebut, ditemukan bahwa semua gelar yang diberikan pada Yesus terkait erat dengan peran dan fungsinya di hadapan Allah dan manusia. Gelar itu juga berarti membicarakan komunikasi Allah kepada umat manusia.
DialogMenurut Bambang masih perlu diakui bahwa di antara Islam dan Kristen masih terdapat perbedaan pandangan secara doktriner mengenai Allah dan Kristologi. Untuk menjembatani keduanya, perlu dikembangkan perjumpaan dialogis. Keduanya harus realistis dan menerima kenyataan bahwa realitas yang satu dapat dilihat dari sudut pandang berbeda.
Martin Sinaga menyatakan bahwa di antara Islam dan Kristen sudah terdapat optimisme dalam berdialog. "Penyebabnya karena iman mereka (Islam dan Kristen) dekat, mereka bersaudara," tambahnya. Sedangkan menurut Hasibullah, dalam konteks dialog, terutama antara Islam dan Kristen, kelemahan yang ada harus segera ditambal sulam dengan gagasan lain yang lebih kukuh. "Hal itu dilakukan agar tidak ada lubang yang bisa digunakan oleh pihak-pihak antidialog untuk kepentingan yang bersifat konfliktual," tambahnya. Hanya saja, sebelum melakukan dialog teologis dengan pihak lain, masing-masing umat beragama harus mempunyai keberanian melakukan otokritik-teologis dan terbuka.
Di sisi lain, Bambang menyayangkan, perjumpaan antariman, khususnya di antara Islam dan Kristen di Indonesia saat ini cenderung mengulang cara beragama di Barat masa lalu. Mereka terperangkap dalam kubangan rumusan doktriner yang berakibat esensi keagamaan cenderung pudar, meski simbol-simbol agamawi formalistis makin marak.
"Menurut saya, daripada mempersoalkan rumusan doktriner, lebih baik kita menggeser tekanan perhatian pada ortopraksi, yaitu kehidupan yang benar, lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Terlebih, yang menghargai martabat manusia," tambahnya. Kehendak Allah yang dinyatakan melalui himne Kristus dalam surat Kolose dan cerita tentang Yesus dalam QS Maryam sesungguhnya memiliki makna konkret.
"Manusia tidak diperintahkan untuk bermusuhan karena perbedaan definisi ajaran mereka atau pun rumusan doktrin. Mereka diminta untuk bertindak konkrit dalam merealisasikan syalom (salam) di dunia. Hal itulah yang menjadi panggilan bersama bagi pengikut kedua agama," urai Bambang.
Menurut Martin Sinaga, banyak terjadi permasalahan atau titik tengkar di antara umat beragama. Berbagai konflik akibat permasalahan yang sudah disangkutpautkan dengan bidang lain terjadi di masyarakat.
"Itu merupakan dimensi kemasyarakatan setempat dan dapat dilihat sebagai kasus konkrit. Namun, di samping itu, kiranya kasus-kasus sejenis dapat mendorong suatu pertemuan, bahkan optimisme," ungkap dosen STT Jakarta itu. [DMP/R-8]