www. alumnifatek.forumotion.com
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www. alumnifatek.forumotion.com


 
IndeksIndeks  PortailPortail  PencarianPencarian  Latest imagesLatest images  PendaftaranPendaftaran  Login  KawanuaKawanua  Media Fatek OnlineMedia Fatek Online  KAMPUSKAMPUS  

 

 Di Antara Natur dan Kultur

Go down 
PengirimMessage
Admin
Admin
Admin


Jumlah posting : 549
Registration date : 08.01.08

Di Antara Natur dan Kultur Empty
PostSubyek: Di Antara Natur dan Kultur   Di Antara Natur dan Kultur Icon_minitimeTue May 27, 2008 5:47 pm

SUARA PEMBARUAN DAILY
Di Antara Natur dan Kultur

Di Antara Natur dan Kultur Daoedjoe
Daoed Joesoef


Di zaman kemerdekaan, Orba adalah satu-satunya rezim yang paling komit pada penanganan masalah pembangunan. Sayangnya komitmen ini mengabaikan Tanah Air dalam artian fisik. Setelah 30 tahun berjalan baru bermunculan dampak negatifnya dan berakhir fatal bagi nasib rezim itu sendiri.

Pembangunan selama ini, baik di socialist East maupun di capitalist West, umumnya dilaksanakan secara strict teknokratis sesuai ajaran disiplin ekonomi. Sedangkan ajaran ini mengabstrakkan ruang (space) dalam penalaran keilmuannya, ruang dalam artian geografi fisik (natur) dan geografi sosial (kultur).

Padahal, sekarang masalah geografi dengan bergulirnya waktu semakin menyibukkan diskusi publik, meskipun ia tidak selalu disebut begitu: dari transmigrasi hingga mondialisasi, melalui urbanisasi dan lokasi/relokasi proyek pembangunan - pendirian pabrik, waduk, kompleks perumahan, highways - semakin banyak masalah kontemporer yang terkait dengan penguasaan ruang.

Akibat kekeliruan tersebut bermunculan pembabatan hutan yang berdampak pada persediaan air tanah dan banjir di dataran rendah, perubahan penggunaan sawah dan hutan produktif menjadi kompleks industri/bisnis, perumahan/pertokoan, lapangan golf, lahan kuburan mewah, urbanisasi dari penduduk desa yang tercampak dari ruang kampung halamannya. Sesampai di kota mereka disisihkan, terkelompok menjadi suatu ghetto, dan bermuara pada penyusutan hutan , okupasi badan jalan dan trotoar.

Padahal, perusahaan-perusahaan multinasional yang hendak berinvestasi di satu negara, menggunakan penalaran geografis dalam keputusannya itu, jauh sebelum melibatkan penalaran ekonomis.

Modal Sosial

Ruang merupakan sekaligus suatu paksaan dan suatu kebebasan. Artinya, kita sedang berada di suatu momen historis di mana kemampuan bertindak, individual atau kolektif, menangani ruang cenderung meningkat. Jadi ruang menjadi "modal sosial" yang semakin penting dalam keseluruhan modal sosial yang diandalkan dalam proses pembangunan.

Jadi, yang seharusnya kita kembangkan dan terapkan sebagai satu aksi yang konsisten dengan cita-cita kebangkitan nasional tempo doeloe adalah kultur pembangunan yang dinyatakan in terms of social space, bukan in terms of income (GNP, GDP, average income), sebagaimana yang diagung-agungkan oleh penalaran ekonomi murni. Sebab yang kita perlukan adalah satu aksi pembangunan di mana bersinergi daya ekonomi dan daya politik, tidak hanya sekadar berjalan seiring, tetapi tetap terpisah satu sama lain.

Disiplin ekonomi perlu dikendalikan seperti juga disiplin politik. Kita sering lupa bahwa "politik" sebagai "action" mengambil keputusan dengan berpretensi bersendikan "politics" sebagai disiplin ilmiah, yang tidak mengambil keputusan. Maka pengendalian politik ini seharusnya sudah dimulai sejak ia masih berupa "politics", berupa uraian hasil dari orderned thinking. Jadi, sejauh yang mengenai penalaran pembangunan sejak perumusan awalnya sudah harus menggabungkan ekonomi dan politik agar masing-masing tidak jalan sendiri-sendiri. Pengendalian kedua jenis disiplin sosial itu berupa peleburan keduanya dalam suatu penalaran pembangunan in terms of social space.

Ruang sosial ini bukanlah suatu substansi yang abstrak dan metafisis, sebagaimana yang biasanya diketengahkan dalam wacana sosiologis Durkheimian. Ia adalah suatu ruang hidup manusia yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas tertentu, baik lokal maupun nasional.

Dalam dimensi objektif, material, kultural, dan spiritual, ruang sosial ini adalah produk transformasi alam melalui proses pikiran dan kerja manusia. Alam tersebut bisa berupa sungai, danau, daratan, pantai, lautan, hutan, dan lain-lain. Ruang sosial ini juga merupakan sebuah pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan direkayasa oleh penduduk dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, dari mulai modifikasi yang terkecil (pembangunan gedung sekolah, tempat ibadah, desa) yang dampaknya kecil saja pada lingkungan, modifikasi menengah (pembangunan waduk, kompleks industrial/bisnis, kampus, kota) sampai modifikasi terbesar (pembangunan daerah/provinsi, pulau) yang pasti mengubah tata ruang/lingkungan.

Secara filosofis, pembangunan in terms of social space diformulasikan sebagai suatu "gerakan komunitas" (lokal atau nasional) - termasuk subkomunitas: civil society, usaha kooperatif, dan lain-lain - yang tak berkesudahan, selama proses mana komunitas/subkomunitas yang bersangkutan menjadi terasa lebih adil, lebih manusiawi, lebih akseptabel bagi para warganya.

Dengan menghidupkan "gerakan komunitas" secara sadar dan sengaja ke dalam penalarannya berarti pembangunan in terms of social space ini secara implisit berusaha menghidupkan semangat dan praktik demokrasi di kalangan rakyat. Bila pembangunan waduk yang direncanakan oleh pemerintah tidak diperlakukan sebagai "proyek resmi", misalnya, tetapi sebagai "gerakan komunitas setempat", artinya penduduk yang bakal kena imbas konstruksi besar-besaran itu diajak bicara. Imbas itu bisa berupa penggusuran sawah/ladangnya, penenggelaman desa serta semua kenangan hidup yang terkait dengan tempat pemukiman itu, keharusan pindah ke tempat lain.

Salah satu pokok pembicaraan seharusnya berkisar tidak lagi pada financial costs, tetapi opportunity costs dari waduk yang menyentuh kepentingan penduduk. Dengan perkataan lain, development in terms of social space assumes the participation in decision-making of the people who are personally affected by the decisions. There exists thus a form of interaction between such participation and a strategy that aims at satisfying the basic needs of the people. Oleh karena itu, konsep pembangunan ini sebaiknya segera mulai diterapkan di sektor pertanian daerah pedesaan dan sektor perikanan di sepanjang daerah pantai.

Mengingat pembangunan dalam term ruang sosial merupakan sebuah pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan direkayasa oleh penduduk dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, pembangunan ini menjadi suatu participatory development. Sedangkan pembahasan bersama-sama tentang pilihan-pilihan penting dan pembangunan, yang disebut legitimately "politik", di lingkungan masyarakat dari manusia-manusia merdeka dan semakin terpelajar, merupakan satu urgensi sekarang ini. Bukankah hal seperti ini yang pantas disebut participatory democracy dan akhirnya berjalan seiring dan seirama dengan participatory development.

Bila demikian akan timbul dan berkembang secara bersamaan serta saling mengisi, ya demokrasi politik, ya demokrasi ekonomi, ya demokrasi sosial, tidak hanya di komunitas nasional, tetapi juga di setiap subkomunitasnya. Semua itu bisa terjadi dengan wajar karena development in terms of social space membuat bumi tempat berpijak tidak diabstraksi - tidak tak diberi makna/nilai - bagi penduduknya.

Kemudian di samping kultur politik dan kultur demokrasi akan tumbuh dengan sendirinya secara simultan dan spontan berbagai kultur terkait, yaitu kultur komunikasi, kultur ekonomi, kultur hukum, kultur artistik, bahkan kultur keilmuan, karena lama-kelamaan ruang sosial ini bisa menjadi suatu learning society, yaitu dasar yang sangat ideal bagi pembentukan civil society. Bila demikian, konsep development in terms of social space sangat berpotensi untuk menjalankan fungsi-fungsi politik, seperti: pendidikan politik, perekrutan politik, mendorong partisipasi politik warga, menyalurkan aspirasi, melaksanakan komunikasi politik, dan mengelola konflik.

Bila demikian, pembangunan dalam artian ruang sosial tidak akan terasa "politis" oleh rakyat. Sedangkan sejarah perkembangan masyarakat mencatat bahwa yang paling sukses dari semua political moves adalah yang tidak "berpenampilan politis".

After all, kalau mau jujur, dan seharusnya memang demikian, kita semua adalah peletak dasar dari satu usaha kolektif yang tak kunjung selesai, tetapi harus dilakukan terus-menerus secara konsisten, yaitu mengonstruksi satu bangsa yang berkultur (berkebangsaan) prorakyat. Inilah kiranya yang disebut etika masa depan yang pantas menjiwai orang yang mera- sa terpanggil untuk memimpin Negara-Bangsa-Indonesia.

Penulis adalah alumnus Université

Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Kembali Ke Atas Go down
https://alumnifatek.indonesianforum.net
 
Di Antara Natur dan Kultur
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
www. alumnifatek.forumotion.com :: KATAGORI BERITA :: Nasional-
Navigasi: